Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #24

Sial! Kenapa Dia begitu Baik? #Bab 23

Beruntung Radit libur di hari Jum’at ini, jadi aku bisa bersembunyi di kamar ketika Arkha datang mencariku. Tak kusangka dia begitu gigih, datang tiga kali sehari seperti jadwal minum obat saja. Aku merasa tak perlu lagi memberi kesempatan padanya. Aku ingin berteman, tapi sepertinya dia tidak menginginkan hal tersebut.

Malam hari dia datang kembali, tapi … sepertinya tidak nyaman dengan kondisi banyak orang berkumpul di teras rumahku. Dia hanya melintas saja, tanpa singgah. Aku, Radit, Ben, Abdi, Ridwan, dan Deki sedang membahas rencana penyaluran bantuan ke lokasi gempa. Meski sedang libur, Radit tadi dihubungi oleh pihak Rumah Sakit tempatnya bekerja, diminta kesanggupan dan kesediaannya menyalurkan bantuan ke lokasi yang sulit dijangkau dengan mobil. Usai panggilan tersebut, dengan cepat kami mengumpulkan teman-teman di rumah dan menyepakati akan berangkat esok hari untuk mengantarkan sejumlah obat-obatan dan makanan.

Ternyata gempa yang terjadi hari ini benar-benar berdampak besar. Sejumlah berita mengerikan terus kami dengar. Di daerah Bantul bahkan ada jalan yang terbelah dan mengeluarkan air dari dalam tanahnya. Beberapa daerah pun menjadi terisolasi karena akses tertutup. Kami harap kedatangan kami bisa sedikit memberi bantuan kepada para korban, walau mungkin tak sebanding dengan penderitaan yang sedang mereka alami.

***

Konvoi kami ke lokasi gempa di Jogja dilakukan dengan formasi yang sama sepeti biasanya. Aku masih bersama Ben. Tidak ada yang bersedia memboncengku, termasuk adikku sendiri. Banyak sekali alasannya. Meski sudah kubatasi jarak antara aku dan Ben di atas kendaraan, tapi tetap saja banyaknya barang yang kami bawa terkadang membuat kami bersentuhan tanpa sengaja. Tak terhitung berapa banyak kata “maaf” yang terucap dari mulut Ben hingga akhinya kami sampai di lokasi yang menjadi pusat gempa.

Sepeda motor ini berjalan perlahan mencari jalan yang masih bisa dilewati. Target kami bukanlah lokasi dekat jalan raya yang masih bisa dimasuki mobil, melainkan sejauh mungkin masuk ke daerah yang terisolasi akibat putusnya jalan.

Aku menatap kiri dan kanan jalan dengan miris. Sejumlah rumah sudah rata dengan tanah, menyisakan puing-puing bangunan yang berserakan. Ngeri sekali membayangkan ada berapa banyak korban dalam kejadian ini, mengingat kerusakannya luar biasa parah.

Hampir saja kami tidak bisa memasuki wilayah tertentu yang di sisi kiri dan kanannya sudah didirikan tenda barak dekat jalanan yang ditutup petugas. Setelah Radit menjelaskan beberapa hal pada petugas, jalan untuk kami pun dibuka dan pemandangan di sekitarku menjadi lebih menyeramkan lagi. Ada banyak manusia terluka di sekitar sini. Bisa jadi mereka sudah mendapatkan pertolongan pertama, tapi beberapa terlihat mengalami luka sangat serius sehingga rasanya tidak memadai jika hanya dirawat di sini, harusnya mereka sudah diangkut dengan ambulans ke rumah sakit terdekat. Sepertinya, ambulans baru sempat mengangkut korban yang berada di sekitar jalan besar tadi saja.

“Kita di sini aja, Mbak. Dit enggak tega melihat mereka.” Adikku yang tadi memimpin perjalanan, kini menyejajarkan motornya dengan motor Ben, dan membawanya dengan kecepatan sangat rendah.

“Yang di dalam bagaimana?” tanyaku pilu.

“Bukankah lebih baik kita bantu yang terlihat dulu?” Ia balik bertanya. “Coba perhatikan, deh, Mbak … sepertinya tenaga medis yang ada di sini sudah kewalahan. Jangankan untuk memikirkan mereka yang jauh di dalam sana, melihat yang ada di sekitar sini saja sudah tidak tega.” Radit menunjuk sebuah barak yang terlihat sedikit rusuh dan tidak terkendali.

“Aku setuju dengan Radit,” komentar Ben yang kemudian menepikan motornya.

***

Kami kembali ke Solo sore hari usai melakukan apa yang kami bisa terhadap para korban. Tak lupa pula kami meninggalkan sejumlah bantuan pangan, walau mungkin nilainya tidak seberapa. Korban jiwa yang dipublikasi di berbagai media pun sudah mencapai angka ribuan. Sungguh sebuah musibah yang mengerikan. Jika saja aku dengan gila memutuskan bermalam di Jogja bersama Arkha kemarin, bisa jadi aku juga salah satu manusia yang hanya tinggal nama hari ini.

Aku terkejut saat motor yang dikendarai Ben direm mendadak. Belum sempat aku memarahinya, dia sudah langsung berdiri dan berlari ke seberang jalan raya, segera usai menegakkan standar motor. Mataku menangkap pergerakannya yang bergegas melompati pembatas jalan dan langsung menuju sebuah motor dengan posisi terjatuh di aspal. Dengan sigap dia memeriksa korban yang sepertinya lelaki, dan menepikannya ke pinggir jalan.

Lihat selengkapnya