Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #25

Another Try? #Bab 24

Aku sudah terlanjur masuk ke dalam ruangan rawat inap dan meletakkan sekantong buah pir di nakas sebelah tempat tidur Guntur, saat mendengar suara seseorang yang kukenal memasuki ruangan ini juga. Seandainya tadi dia yang lebih dahulu berada di dalam ruangan ini, mungkin aku akan menunda waktu menjenguk sahabatnya Ben ini.

“Oh, hai. Sepertinya kita memang jodoh, ya.” Dj melambaikan tangan saat kami beradu pandang. Terlihat keterkejutan di wajahnya saat melihatku lagi setelah sekian lama tak berjumpa. Bisa jadi juga dia tak menyangka akan ada perempuan berjilbab menemani sahabatnya di ruang rawat VIP yang hanya berisikan satu pasien ini.

“Jodoh gundulmu! Walaupun dia udah enggak sama Ben lagi, bukan berarti dia mau sama kamu. Eh ... aduh ….” Guntur merintih sembari memegangi perut kirinya.

“Kamu belum sehat aja udah ngomel-ngomel, sakit lagi jadinya, ‘kan.” Aku mengusap-usap lengan Guntur yang berbalut pakaian pasien berlabelkan nama Rumah Sakit ini, dengan harapan bisa sedikit meredakan rasa sakitnya.

“Wah, informasi bagus, nih. Beruntung sekali aku datang pagi ini.” Alih-alih mendatangi Guntur, lelaki hitam manis itu justru melepaskan ransel dan mengempaskan badan pada sofa empuk yang tersedia di tengah ruangan. “Pada akhirnya enggak bisa bohong juga sama orang tuamu, ‘kan?” Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

“Kamu kalau cuma mau numpang istirahat, jangan di sini. Pulang aja ke rumahmu sana!” Guntur terlihat ketus sekali.

“Jangan sinis gitu, dong. Lupa, siapa yang bawa kamu ke sini semalam?” Dj dengan santainya membuka parsel di meja depan sofa dan menyuapkan sebutir anggur ke dalam mulutnya.

“Terus, aku juga harus bilang terima kasih karena sudah sekalian ngasi tahu orang tuaku, begitu?” gerutu lelaki yang masih tergeletak di atas ranjang rumah sakit ini.

“Ini untuk kebaikanmu, loh. Masa iya mau dirawat di bangsal aja? Kapan kamu sembuhnya kalau stres dengar pasien sebelah kiri-kanan merintih sakit?” Lelaki yang diajak biacara oleh Guntur itu kini berjalan ke arah kami. “Ya, ‘kan, Mel?” Dia mengedipkan sebelah mata padaku.

“Ya …, ada benarnya juga, sih,” komentarku sembari merogoh saku celana. Sejak terlalu sering mendengar panggilan masuk dari Arkha, aku memang memutuskan untuk mengaktifkan mode senyap pada gawai ini. Hanya getar yang menjadi penanda aktivitas di perangkat elektronikku yang mungil itu saat ini.

“Ah, sebentar, ya,” pamitku saat melihat kontak Mama melakukan panggilan masuk. Aku berjalan menuju sofa panjang yang di atasnya tergeletak ransel Dj.

“Kok, tiba-tiba cari rumah?” Aku terkejut setelah mendengar instruksi mama untuk mencari rumah dijual di sekitar rumah mbah. Kata mama-setelah berdiskusi dengan papa-bisa jadi kami sekeluarga akan pindah ke Solo saja agar bisa mengurus mbah juga, toh, tidak lama lagi papa akan pensiun. 

Guntur dan Dj serempak menatapku yang ternyata berbicara cukup kuat. Aku jadi sungkan dengan mereka dan memilih keluar kamar untuk melanjutkan pembicaraan.

***

Dj sedang memilih kunci rumah untuk membuka pintu utama di sebuah bangunan bertingkat dua yang tak berpenghuni. Sementara aku menyusuri pandangan ke seluruh penjuru halaman depan. Siapa sangka ada rumah dijual yang berjarak hanya tiga rumah di sebelah rumahnya. Mana daerah Mojosongo ini lumayan dekat dengan rumah tinggal mbah, jadinya semua syarat terpenuhi untuk langsung kukunjungi sepulang dari menjenguk Guntur. Dj juga tak mau buang waktu, dan langsung menghubungi keluarganya di rumah untuk meminjam kunci sebelum kami bergerak dari rumah sakit tadi. Jadinya, mau tidak mau aku terpaksa juga singgah dahulu ke rumahnya untuk meletakkan barang dan mengambil kunci rumah yang baru ditinggal pindah oleh pemiliknya itu. Dengan tanpa sungkan sedikit pun, dia memperkenalkan ibu dan dua adik perempuannya, bahkan mengizinkanku salat di dalam kamar adiknya. Aku pun akhirnya jadi tahu bahwa ternyata …, ayahnya sudah lama meninggal.

“Sudah kubilang berapa kali, sepertinya kita ini memang jodoh,” ucapnya saat membuka lebar pintu rumah di hadapan kami.

Aku menyengir saja menanggapinya. Percuma juga berkomentar, dia pasti akan mencari kalimat lain untuk menjawab dan menggodaku.

Lihat selengkapnya