Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #26

Ternyata . . . Memang Hanya Pelarian #Bab 25

Lapangan badminton indoor ini cukup luas dengan tempat salat yang nyaman. Dj ternyata tidak berbohong, dia tadi menjemputku sore hari dengan meyakinkanku terlebih dahulu bahwa aku tidak akan kesulitan mencari tempat salat Magrib. Jadi, aku tidak perlu khawatir. Begitu juga dengan jam pulang ... walau biasanya dia pulang jam 11 malam, tapi karena kali ini aku ikut dengannya, dia berjanji akan selesai paling lambat pukul sembilan.           

Setelah menyelesaikan salat Magrib, aku mengambil tempat duduk di pinggir lapangan dekat tas badminton Dj berada. Kusempatkan mengintip isi tas berukuran panjang itu. Dia tadi bilang sudah membawa dua raket untuk berjaga-jaga jika aku ingin main, dan ternyata memang benar … masih ada satu raket lagi di dalamnya.

Kuketatkan tali sepatu sebelum meraih raket berwarna hitam tersebut, lalu berjalan memasuki lapangan. Melihat Dj yang sudah selesai berlari keliling lapangan dan kini mulai melakukan pemanasan ... membuatku ingat kembali pada kriteria lelaki yang bisa dengan mudah menarik perhatianku: tinggi badan lebih dari 175 cm, berkulit eksotis, berambut lurus, dan berhidung mancung. Belum lagi … ternyata dia berbadan atletis dan suka olahraga, benar-benar mengingatkanku kembali pada Sebastian-cinta pertamaku-yang tergila-gila pada sepak bola. Wah … ternyata selama ini aku memang tak pernah memperhatikannya dengan saksama, selain dari sekadar takjub dengan gaya panggungnya saja.

Aku menghela napas panjang saat berada di sisi lapangan yang sama dengan Dj. Ah, bisa-bisanya Ben yang jauh dari kriteria lelaki yang kusukai, membuatku galau setengah mati. Belum lagi … sudah jelas-jelas dia berbeda agama dan saat ini sudah dengan tegas memilih untuk tetap dengan keyakinannya, meski itu artinya harus kehilanganku. Aku tak habis pikir … pergi ke mana akal sehatku setahun belakangan?

“Kamu enggak pemanasan dulu?” tanya Dj saat melirikku. Di seberang net sudah bersiap sedia dua orang temannya yang juga berpasangan, laki-laki dan perempuan. Danang dan Wita namanya, jika aku tak salah ingat. Adapun di lapangan sebelah sudah dimulai permainan ganda putra yang juga merupakan teman-temannya Dj. Sepertinya dia tak berbohong bahwa aktivitas ini memang sudah lama dilakukannya. 

“Aku cuma main satu set aja, kok, enggak usah pemanasan juga enggak apa-apa sepertinya,” jawabku sembari mengayunkan raket ke atas dan ke bawah. Sudah cukup lama aku tak memegang raket badminton lagi usai terakhir kali gagal menjadi utusan sekolah saat seleksi pertandingan antar SMP.

“Jangan begitu, nanti badan kamu sakit-sakit. Ayo, sebentar saja.” Dia mengambil raket dari tanganku dan memanduku melakukan gerakan peregangan otot. Bisa kulihat dia sangat berhati-hati, menjaga kesopanan, dan berusaha tidak menyentuhku sama sekali.

***

Dj menepati janjinya untuk pulang jam sembilan, bahkan lebih cepat dari itu. Dia sudah menyelesaikan aktivitasnya di lapangan pada jam setengah sembilan dan menyempatkan diri untuk mandi serta berganti pakaian di ruang ganti. Sementara aku tak mempersiapkan pakaian ganti karena sudah berencana untuk tidak main dengan serius, hanya ingin pukul-pukul saja dan melepas rindu pada olahraga yang dulu pernah menjadi favoritku ini.

“Sudah lama aku enggak sesenang ini, terima kasih, Amel.” Dj menerima helm dari tanganku. Tadi sore dia menjemputku lengkap dengan dua helm, jadi aku tak membawa helm sendiri.

“Lain kali—”

“Kamu siapa?” Suara Arkha terdengar sangat berat, memotong kalimat Dj. Pertanyaan itu jelas ditujukan pada lelaki yang saat ini masih berada di atas motornya itu. Aku sendiri sudah hendak meraih gagang pagar untuk masuk ke dalam pekarangan rumah.

“Jika Amel pergi dengan Ben, aku masih bisa terima. Tapi, jika dia pergi dengan orang lain yang baru dikenalnya …, jelas aku tak terima!” protes Arkha sembari membusungkan dada dan menghujamkan tatapan tajam pada Dj.

Lihat selengkapnya