Pagi ini, aku dikejutkan dengan keberadaan sebuah amplop putih yang diselipkan di bawah pintu. Ada tulisan “untuk Amelia” di sana, walau tanpa keterangan dikirim oleh siapa.
Kubuka surat tersebut sembari mengambil posisi duduk di ruang tamu dan langsung merinding saat mendapati ada warna merah kental di atas kertas yang baru saja kubuka lipatannya ini.
Jika aku tidak bisa memilikimu, maka orang lain pun tidak!
Sebuah pesan pendek tertulis di dalamnya, diakhiri dengan cap jempol darah pada bagian bawah. Gila! Ini pasti Arkha. Aku sungguh tak menduga lelaki rupawan, cerdas, dan cenderung perfeksionis itu ternyata posesif. Sungguh sebuah langkah yang keliru datang ke rumahnya saat marah besar dengan Ben beberapa waktu yang lalu.
Setelah berpikir keras beberapa saat, kuputuskan untuk mengambil gawai dan melakukan panggilan telepon.
“Ma, jadi pindah? Rumah yang kemarin Amel bilang itu bagaimana?” tanyaku saat panggilan telepon tersambung dengan Mama di Padang.
“Ini papa masih ragu, sepertinya masih butuh waktu untuk berpikir,” jawab Mama di seberang telepon.
“Ya. Tapi, Ma … Kalau misalnya jadi pindah pun, boleh enggak Amel tetap di Padang? Indekos pun enggak apa-apa.”
“Kamu ini bicara apa? ‘Kan kamu sudah di sana, ya, sudahlah, di sana saja. Lagipula, bukannya kamu senang bisa ketemu Ben lagi?”
“Amel enggak akan pernah sama Ben selama dia masih Kristen, Ma. Dan sepertinya … akan lebih baik jika Amel pulang ke Padang dalam waktu dekat. Jangan khawatir, Amel akan patuh dengan larangan Mama untuk tidak mencari suami yang bersuku Minang.” Aku melirik kembali kertas kiriman Arkha dan menggerak-gerakkannya dengan hati risau.
“Hah? Terus, kenapa kemarin pacaran dengan dia? Aneh-aneh saja kamu ini. Ya sudah, terserah kamu. Radit betul-betul udah pulih sepenuhnya, kan?”
“Udah, kemarin pasca ngantar bantuan ke Jogja itu juga dia masih baik-baik saja, kok. Obat China yang Mel bawa dari Padang untuk dia itu ternyata ampuh.”
“Jadi kamu mau pulang kapan?”
“Nanti malam,” jawabku sembari menghela napas. Aku sudah tidak bisa mengendalikan situasi di sini. Akan lebih baik jika aku pergi secepatnya dan memulai sesuatu yang baru tanpa semua kegilaan ini.
“Ya. Nanti kalau sudah dapat tiket kabari mama,” tutup wanita yang melahirkanku lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu.
“Mbak, jadi ngantar ke RS?” tanya Radit yang tiba-tiba saja keluar dari kamarnya. Masih belum waktunya dia berangkat kerja, tapi sepertinya dia penasaran dengan apa yang kubicarakan di telepon barusan
“Jadi, sekalian mau beli tiket untuk pulang ke Padang nanti malam.”
“Hah? Kok mendadak? Naik bus apa pesawat?”
“Pesawat aja, lah, biar cepat sampai. Capek naik bus,” jawabku begitu saja sembari menyimpan surat yang tadi berada di atas meja. Aku tak mau ada yang tahu tentang masalah ini. Aku sungguh tidak suka membuat keributan.
***
Panggilan telepon dari Dj membuat aktivitasku menyusun pakaian terhenti.