Aku sangat paham jika manusia lahir atas dasar fitrah. Manusia itu suci semenjak lahirnya. Manusia akan mengotori jiwa raganya saat berinteraksi dengan lingkungan. Aku pernah bergaul dengan hidup foya-foya, hingga akhirnya sadar oleh kepergian ibu dan ayah ke akhirat sana, selamanya.
Dulu, pakaian yang kugunakan adalah pakaian yang membuatku terhormat, itu menurutku. Karena, pakaian itu membuat mata para lelaki hidung belang melirik dan memanggil-manggil namaku. Aku merasa bahwa mereka menyukaiku. Namun, pada akhirnya, aku menyadari bahwa, aku, adalah orang terhina.
Aku pernah berada dalam sebuah tempat yang sangat sumpek, hingga tak bisa sedikit pun menikmati udara. Sesak, tak mampu berkata. Bahasa lainnya adalah: aku berada dalam kegelapan yang terkadang, hanya sisa-sisa cahaya yang menerangi taman kehidupanku. Tapi, semuanya tak pernah lagi kusoalkan. Oleh karena, aku merasa jalan hidup manusia itu masing-masing berbeda.
Dan inilah kisahku...
Nanti akan kuceritakan mengapa aku bisa hidup bersama pemuda kecil bernama Yusuf Anan Mustafa, pemuda kecil yang sangat tampan, imut, membuat hati bergetar hebat, hanya dialah penyemangat hidupku sekarang.
Aku sangat mencintainya, melebihi cintaku terhadap diri sendiri. Ya, kehadirannya mengisi relung-relung hidupku, serta mengisi setiap ruang yang telah kosong oleh masa lalu yang menyakitkan. Hingga kehadiran sosok pemuda kecil itu melahirkan diari baru yang penuh warna. Walau tak seindah pelangi. Tapi apapun akan kulakukan untuknya seorang.
Semua kenangan telah menyatu, membuatku serasa gila, tak bertepi, tak punya keinginan lagi untuk hidup. Namun, semenjak kehadirannya, yang setia menjadi pendamping hidupku dalam suka maupun duka, semenjak itu pula senyumku kembali merekah, mengalun menikmati nada-nada hidup yang ternyata berarti. Dialah alasanku bertahan hidup sekarang.
***
Masa Kini.
Pagi itu, aku menemuinya lagi. Aku tak bisa hidup tanpanya. Sambil tersenyum, kupandangi wajahnya yang sedari tadi menunggu di depan pintu. Aku akan membawa dia menuju tempat yang semoga dirahmati Tuhan.
Pakaian menempel rapi menutupi tubuhnya yang mungil. Al-Qur’an dalam pelukannya membuatnya sangat istimewa di mataku, sangat indah, seindah taman firdaus. Ditambah lagi senyumannya yang takkan pernah lekang oleh waktu. Begitu melihatku menghampirinya, dia tersenyum-senyum. Matanya mengisyaratkan kegembiraan yang tak bisa diukur.
“Apa kau sudah siap, Sayang?” tanyaku.