Tuhan, Maaf Saya Jatuh Cinta

ImaRosyi
Chapter #4

Bagian IV

Jarvinia tidak jago berbahasa Belanda. Tiga bulan di Amsterdam, tiap kali mengobrol ia masih mencampur Bahasa Belanda dengan Bahasa Inggris. Bagaimana mungkin ia bisa diminta menjadi pengajar kursus Bahasa Belanda?


Namun, Ibu Widya, seorang kenalan yang ia jumpai di taman Vondelpark begitu yakin bahwa Jarvinia dapat menggantikannya untuk mengajar bahasa Belanda untuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia, selama wanita berusia hampir empat puluh tahun itu cuti melahirkan. 


Selama seminggu penuh Jarvinia mempelajari modul. Semakin dipelajarinya modul tersebut, semakin yakin dirinya bahwa ia tidak mampu berbahasa Belanda. Bahkan kini ia meragukan kemampuannya berbahasa Indonesia. Jika harus memilih, ia lebih memilih bertarung bersama hacker dibandingkan harus belajar apalagi mengajar bahasa.


Kalau bukan karena rasa sungkan terhadap Ibu Widya yang baik hati dan gemar memberikan kue buatannya kepada Jarvinia, ia tidak akan sudi untuk menjadi pengajar.  Ia selain tidak menguasai bahasa Belanda juga tidak mahir mengajar itulah sebabnya kawan-kawannya selalu membercandainya sebagai Bu Dosen. 


Goedemorgen” Jarvinia menyapa anak didiknya. Rasanya kelu sekali memaggil mereka sebagai anak didik. Salamnya disambut koor para siswa yang jumlahnya tidak sampai dua puluh orang.


“Bu Widya mungkin sudah memberitahu teman-teman jika mulai hari ini untuk sementara waktu, saya akan menggantikan beliau selama beliau cuti melahirkan. So, saya Jarvinia Mika Vogel. Kalian bisa memanggil saya Jeje. So, yeah, sekarang presensi dulu, ya.”


***


Seorang laki-laki berperawakan berisi dengan tinggi badan sekitar 175 cm dan berkacamata tergopoh-gopoh menuju tempat kursus Bahasa Belanda. Ia sudah telat lima belas menit. Diketuknya pintu di hadapannya. Hari ini guru lesnya cuti, diganti guru baru untuk sementara. Ibu Widya baik hati, tidak pernah marah jika ada yang terlambat, tetapi guru pengganti ini barangkali akan marah. 


“Masuk.” Dari dalam terdengar suara guru baru itu.


Lelaki itu membuka pintu di hadapannya, lalu menutupnya pelan-pelan. Didapatinya guru itu sedang membaca buku presensi. 


“Maaf saya terlambat.”


Guru itu mengangkat pandangannya. Tersenyum, tetapi seketika ada rasa kaget yang tergambar jelas diwajahnya, begitu pula pada wajah lelaki itu. 



Farhan, lelaki itu tiba-tiba mematung. Waktu rasanya membeku.  Semua memori lama terputar secara mendadak di otaknya. 


“Farhan?”


Farhan tersadar dari lamunannya. “Jeje?”


Jarvinia menelan ludah, kikuk, pertemuan ini sangat tidak  terduga. “Ah, silakan duduk.” Ini bukan momen yang tepat untuk berbasa-basi. 


Ada sedikit kekecewaan di dalam hati Farhan. Ia berharap ada obrolan sedikit lebih panjang. Namun, ia tahu ini bukan waktu yang sesuai. 


Farhan berjalan dengan kikuk ke salah satu bangku yang kosong. Les hari ini berjalan dengan tidak lancar. Pikirannya tidak ada di sini meski suara Jarvinia berdendang di gendang telinganya dengan syahdu. 


***


Les itu selesai. Murid-murid satu persatu meninggalkan ruangan. Farhan keluar paling akhir, didekatinya Jarvinia yang tengah sibuk merapikan barang bawaannya. Jantung Farhan berderu sangat kencang. Rasa-rasanya Jee dapat mendengarkan detak jantung itu. 


“Hai.” Farhan menyapa. 


Jarvinia menghentikan langkahnya. Ia tersenyum. “Hai. Apa kabar?”


“Baik, alhamdulillah. Kamu?”


“Ya, seperti yang kamu lihat.”


Farhan tersenyum simpul. “Tampak baik.”


Sejenak keduanya hanya saling tatap dan tersenyum. Tawa mereka lantas pecah., 


“Mau makan siang bareng?” Jarvinia berinisiatif, ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengobrol dengan Farhan,  “ada restoran kebab dekat sini. Sudah pasti halal.” Sambungnya. Ia tidak tahu restoran halal di sekitar sini, yang ia tahu tidak ada kebab isi daging babi. 


Farhan mengangguk. “Sure.”


“Sebentar, ya, saya beresin dulu.” Jarvinia melanjutkan merapikan barang bawaannya. 


Farhan secara inisiatif membantu Jarvinia, tindakan yang beberapa kali pernah ia lakukan saat SMA dan hanya kepada Jarvinia ia memberikan pertolongan. Perasaan Jarvinia tak karuan, ia menggigit bibir bawah bagian dalam untuk menahan senyumnya. 


Kedua kawan lama yang telah bertahun-tahun putus komunikasi itu lantas meninggalkan ruangan itu. 


***


“Jujur aku mencari kamu setahun belakangan.” Jarvinia berbicara dengan sangat hati-hati. Gugup. Telapak tangannya mulai berkeringat. Ada perasaan senang luar biasa yang membuncah. Namun, ada pula perasaan marah yang ingin ia semburkan pada lelaki di hadapannya. 


Farhan tersenyum, kesulitan berkata-kata. “Setahun belakangan saya mempersiapkan diri untuk beasiswa, Je.”


“Dan sekarang, kamu kuliah di..?”


“Leiden University.” Senyum simpul mekar di wajah Farhan.


Seketika Jarvinia tersenyum lebar. Ada rasa bangga tak terkira yang ingin ia ungkapkan. Ia ingin melompat, memeluk Farhan, tetapi ia tahu tidak mungkin bisa. 


“S2, S3? Jurusan?”


“S2. Fisika.”


You are such a great person, Han.” Pujian itu keluar begitu saja dari mulut Jarvinia, tetapi ia tidak menyesalinya. 


Farhan tersenyum lebar. “Kamu jauh lebih hebat dari aku, Je. Sudah S3, kan?”


Lihat selengkapnya