Natalia berangsur-angsur terbangun dari tidurnya. Keningnya terasa berat, disentuhnya kening itu. Sebuah kain lembab. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi semalam: ia demam, bel kamarnya berbunyi terdengar mengesalkan, dan Jarvinia yang belum lama ia kenal merawatnya.
Natalia menyingkirkan kain itu, meletakkannya sembarangan. Dengan kepayahan ia mencoba untuk duduk. Kepalanya masih sedikit pening. Ia meraba-raba nakas di pinggir tempat tidur, mencari ponselnya. Ada satu pesan masuk, dari Jarvinia. Pesan itu dikirim dua jam yang lalu.
From: Jarvinia Kamar 12
Hai, maaf ganggu.
Kalau kamu sudah bangun, di handle pintu ada makanan
Tadi saya belikan, tapi saya takut ganggu kamu, jadi saya
Gantungkan di sana
GWS ya 🙂
Ada rasa senang yang menghinggapinya. Barangkali karena kini ia mulai merasa lapar, instingnya merasa senang karena tidak perlu membuat makan. Mungkin pul aia senang, karena di saat ia jatuh sakit di negeri asing, ada seseorang yang mau memerhatikannya tanpa diminta, barangkali hati kecilnya bersyukur.
Natalia turun dari kasurnya dengan kepayahan, menuju pintu kamarnya. Dibukanya pintu itu, terdengar sesuatu terjatuh. Ketika pintu kamarnya terbuka, ia dapati sebuah tote bag kertas berwarna cokelat jatuh di lantai. Diambilnya tote bag itu, diintip bagian dalamnya: sebungkus sandwich dan minuman yang entah apa. Natalia bergegas masuk kembali ke kamarnya.
Natalia meraih ponselnya, membalas pesan dari Jarvinia. Namun, ada perasaan canggung yang menghampirinya. Bukan karena ia tidak tahu bagaimana cara berterimakasih, tetapi semenjak tiba di Amsterdam, ia belum mendapatkan teman selain Jarvinia, dan ia merasa keduanya belum sedekat itu.
To: Jarvinia Kamar 12
Hai, maaf baru balas, aku baru bangun
Thank you, ya. Makanannya sudah aku ambil
Untuk yang semalam juga, terima kasih banyak
I owe you, kalau butuh bantuan bilang saja
Aku bantu sebisaku
Tak lama kemudian, pesan tersebut berbalas
From: Jarvinia Kamar 12
It’s not a big deal
Semoga lekas sehat
Natalia tidak lagi membalas pesan itu. Rasa canggung itu semakin membesar.
***
Satu bulan berlalu. Natalia masih memikirkan balas budi apa yang tepat untuk Jarvinia. Keduanya bahkan kini jarang bertemu. Tidak ada momen apapun yang bisa membuat Natalia membalas pertolongan Jee, pun gadis itu juga tidak mengabarinya untuk meminta bantuan.
Pukul setengah sepuluh pagi, Natalia terburu-buru menuruni anak tangga flat, tiga puluh menit lagi kelas dimulai, tetapi ia bahkan belum tiba di tempat pemberhentian bus. Ketika tiba di lantai satu, ia tidak sengaja menabrak Jarvinia, momen kebetulan yang sangat tepat.
“Sorry sorry.”
“It’s okay. Keburu-buru amat.” Jarvinia menatap Natalia keheranan.
Natalia mendengus dalam batinnya, ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi. “Aku sudah hampir terlambat, I’m sorry. Aku duluan, ya.” Tanpa mendapat balasan dari Jarvinia, ia bersiap berlari kembali. Namun, Jarvinia menggenggam lengannya.
“Saya antar. Amsterdam University of The Arts, kan? Saya masih belum terlambat.”
Natalia menatap Jarvinia ragu.
“Hei, saya nggak akan culik kamu.” Jarvinia tersenyum lebar.
“Ah, bukan gitu.”
“Nggak enak? Jangan nggak enakan, ah. Yuk, tadi katanya keburu terlambat.”