Tuhan, Maaf Saya Jatuh Cinta

ImaRosyi
Chapter #7

Bagian VII: Rasa yang Bersemayam

“Bangkunya kosong, saya boleh duduk sini?” Seseorang berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Jarvinia segera tahu siapa orang itu. Diangkatnya pandangannya dari buku yang tengah ia baca. Tersenyum, ia dapati Farhan sudah berdiri di seberang meja. 

“Silakan.”

“Kebetulan sekali, ya?”

Jarvinia mengangguk dan tersenyum. “Di perpustakaan tidak boleh ngobrol.” Jarvinia setengah berbisik.

Farhan tersenyum lebar. “Oke, my bad. Selamat membaca.”

Keduanya lantas sibuk dengan buku mereka masing-masing. 

Lima belas menit berlalu, Farhan mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya. Melirik buku yang sedang dibaca Jarvinia: The Dino Directory. Farhan mengulum senyum. 

“Kamu masih mengagumi dinosaurus?”

Jarvinia mengangkat pandangannya. Tersenyum. “Aku butuh bacaan yang ringan.” Ia balas melirik buku yang sedang dibaca oleh Farhan. “Coffee Philosophy? Filosofi Kopinya Dee Lestari?”

Farhan membaca nama penulis di sampul buku. “Iya, Dee Lestari. Aku cuma asal ambil, judulnya kelihatamn menarik.”

“Kamu harus baca karya-karyanya yang lain.” Nada bicara Jarvinia terdengar sangat bersemangat hingga volumenya lebih keras dari sebelumnya. Sadar akan hal itu, ia bergegas menutup mulutnya.  “Tulisan-tulisan dia bagus banget.” Kini Jarvinia berbisik. 

Farhan terpana, ia tersenyum lebar. “Oke, aku selesaikan dulu yang ini.”

“Aroma Karsa, kamu harus baca itu setelah ini selesai. Selanjutnya baca Supernova. Yang Aroma Karsa tidak berseri. Kalau Supernova ada enam buku.”

“Mika..”

“Ya?”

“Di perpustakaan tidak boleh ngobrol.” Farhan tersenyum jahil. 

Jarvinia memutar bola matanya. Tersenyum kesal. Keduanya lantas kembali sibuk dengan buku masing-masing. 

***

Keduanya berjalan beriringan dari perpustakaan. Membicarakan banyak hal. Tentang masa SMA, masa kini, angan-angan akan masa depan, dan tentang kondisi Jogja.

“Sampah Jogja apa kabar, Han?”

Farhan tersenyum, ia sudah menduga polemik soal penutupan  Tempat Pembuangan Akhir di  daerah Piyungan, Bantul, “istana” tempat pembuangan akhir seluruh sampah sekotamadya, Sleman, dan Bantul bakal sampai ke telinga Jarvinia. 

 “Aku sudah menduga kamu akan bertanya.” Ada jeda sebelum Farhan melanjutkan ucapannya, “saat aku berangkat ke sini baru wacana penutupan TPS. Tapi, sekarang, aku dapat kabar dari keluargaku kalau sampah-sampah ditaruh di pinggir jalan dan nggak ada yang mengangkut. Sebagian warga membakar sampah mereka, tapi jadi polemik baru: asapnya bikin polusi. Akhirnya muncul konflik horizontal.”

“Pas banget soal bakar sampah. Aku habis dapat laporan dari penjaga rumah, tetangga pada mau numpang bakar sampah di halaman karena mereka nggak punya halaman. Aku jadi berpikir, kenapa aku nggak buka bank sampah, tapi khusus botol plastik supaya bisa didaur ulang, ya?”

“Lalu, mau kamu daur ulang jadi apa?”

“Aku punya kenalan. Dia kerja di pabrik peredam suara. Salah satu peredam suara yang diproduksi terbuat dari botol plastik bekas. Namanya, green wool. Tiga bulan yang lalu dia kasih kabar, perusahaannya kekurangan sampah botol plastik.” Jarvinia menelan ludah sebelum melanjutkan ucapannya. 

“Bayangkan saja, Han. Orang Jogja bingung buang sampah, kenalanku ini bingung cari sampah. Dunia lucu banget.”

Lihat selengkapnya