Malam itu, sebelum tidur, Rani menunaikan sembahyang isya dengan khidmat. Dia memohon pengampunan pada Allah dan berdoa agar suatu hari kelak, setelah meninggal dunia, dia dapat dipersatukan dengan Hasan di surga. Setelah selesai bersembahyang, Rani beranjak ke tempat tidurnya. Sebelum memejamkan matanya, terbersit senyum di wajahnya, tetapi dia tidak tahu apa arti senyum tersebut. Pikirannya melayang terkenang pada masa lalu.
Jogja, 25 tahun yang lalu, di sebuah kampus yang cukup ternama. Kampus ini telah mencetak lulusan yang sukses dan bahkan ada yang menjadi pejabat dengan jabatan yang mentereng. Di halaman kampus yang luas, beberapa mahasiswi duduk beristirahat setelah melewati hari yang melelahkan dalam acara ospek. "Gila capek banget ya hari ini," kata Gita memulai pembicaraan.
"Iya, ini memang capek banget," timpal Dewi.
Rani hanya diam, lelah telah membuatnya malas untuk berkata-kata. Meskipun hatinya letih, namun dia menikmati momen-momen indah sebagai mahasiswa baru di kampus yang penuh harapan.
"Tapi, semoga semua usaha kita berbuah manis ya, girls," ujar Lina penuh semangat.
"Betul! Ayo kita berusaha semaksimal mungkin agar masa depan kita cerah!" seru Vina dengan semangat yang sama.
Mereka tertawa dan saling memberikan dukungan satu sama lain. Seiring berjalannya waktu, persahabatan di antara mereka semakin erat, dan Rani mulai merasa nyaman berada di tengah-tengah teman-temannya yang penuh semangat dan inspiratif.
Sore hari, Rani berniat pulang ke kosannya seorang diri karena teman-temannya memutuskan untuk pergi ke mal dahulu sebelum pulang ke kosan. Rani enggan ikut karena badannya terasa sangat lelah. Rani mencoba untuk mencegat angkot, tetapi tak kunjung datang. Tiba-tiba, dari arah samping datang seorang lelaki yang menghampiri dan bertanya, "Nungguin angkot ya?" Rani menjawab singkat, "Iya."
Lelaki itu kemudian berkata bahwa angkot ke selatan biasanya sudah tidak ada di jam segini. Rani pun hanya bisa terdiam. Cowok itu kembali berbicara, mengatakan bahwa dia juga kuliah di kampus yang sama dengan Rani. Rani bertanya bagaimana dia tahu, dan lelaki itu menjawab sambil tersenyum bahwa dia melihat Rani waktu ospek. Rani memberi tanggapannya, "Oh, gitu."
"Loh, aku belum perkenalan. Namaku David!" kata lelaki itu sambil menjulurkan tangannya.
Rani merasa ragu untuk menyambutnya, tetapi di sisi lain merasa tidak enak. Akhirnya, Rani memberikan jabat tangan pada David sambil menjawab, "Rani."
Mereka terus mengobrol lama sambil menunggu angkot, meskipun sebenarnya David tahu bahwa angkot pada jam segitu sudah tidak ada. Namun, David melihat bahwa Rani belum sepenuhnya percaya padanya, jadi dia memutuskan untuk menemani Rani sampai dia benar-benar percaya bahwa angkot sudah tidak ada lagi.
Setelah beberapa lama berbicara, akhirnya David berkata, "Btw, gimana kalau aku anterin kamu ke kosan? Kebetulan aku bawa motor."
Rani tampak sedikit sungkan karena dia baru mengenal David, tetapi karena hari sudah beranjak malam, akhirnya dia mengiyakan tawaran David.
Perjalanan pulang ke kosan bersama David berlangsung dengan nyaman. Rani merasa ada kehangatan dan kenyamanan dalam kehadiran David. Meskipun mereka baru saja bertemu, namun perasaan itu terasa begitu alami. Rani menghargai kebaikan hati David yang mengantarkannya dengan motor hingga ke kosan.
Sejak hari itu, Rani dan David semakin sering bertemu dan berbicara. Mereka menjadi akrab, dan Rani mulai merasakan kehadiran David yang membuat hatinya bahagia. Namun, di balik rasa bahagia itu, Rani merasa dilema karena dia tahu keluarganya telah menjodohkannya dengan Hasan. Perasaannya terbagi antara cinta pada David dan tanggung jawab sebagai anak untuk mematuhi keputusan keluarganya.
Malam itu, Rani memejamkan matanya dengan banyak pertanyaan di benaknya. Kehadiran David dalam hidupnya membawa kehangatan, namun dia tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan itu. Di antara perasaan cinta dan keputusan keluarga, Rani akan menghadapi pilihan yang mungkin akan membentuk kisah cinta dan hidupnya ke depan.