Tuhan! Mengapa Kau Ambil Ayahku Lebih Dulu?

Dear Deen
Chapter #15

Sabtu Kelabu

Hari ini, adalah hari sabtu, tanggal 12 Januari 2013. Aku bersekolah seperti biasanya. Menggunakan seragam olahraga biru putih dengan jilbab putih. Pagi ini, ayah mengantarku ke terminal menggunakan mobil. Tak hanya itu, ibu dan Tama juga ikut. Karena, setelah dari terminal, mereka akan langsung ke tempat praktek dokter langganan keluarga kami untuk mengecek kondisi ibu.

           Sesampainya di terminal, aku menyalami tangan ibu dan ayah. Tapi, ayah tidak mau melihat ke arahku. Tumben sekali, raut wajahnya datar. Dan menyuruhku untuk bergegas keluar dari mobil.

Akhirnya, akupun turun dan berlari menuju ke arah bus. Perlahan – lahan, mobil ayah menghilang dari pandanganku. Aku yakin sekali kalau Tama tidak masuk sekolah. Karena, ibu sedang sakit.

Sore hari tiba, akupun sampai di rumah sekitar pukul setengah lima sore. Sesampainya di rumah, aku kelaparan dan menuju ke arah dapur. Kulihat tidak ada apapun diatas meja makan. Akupun menuju kamar untuk menemui ibu yang terbaring disana.

“Bu, gak ada makanan apa - apa? udah pada makan belum?” tanyaku.

“Iya, ibu gak sanggup masak. Sakit banget, gak kuat berdiri. Masak aja bahan yang ada ya kalau kamu lapar.” ucap ibu.

“Terus, ibu dan yang lain belum makan daritadi?” tanyaku lagi.

“Iya belum.” ucap ibu.

           Akupun bergegas menuju dapur, dan sampai lupa untuk berganti pakaian. Di dapur, aku mencari bahan makanan yang bisa kumasak dengan cepat. Kasihan, orang rumah kelaparan. Aku memutuskan untuk memasak nasi goreng. Setelah nasi gorengku jadi, aku menuju kamar ibu lagi.

           Aku menawarkan masakanku kepada ibu. Agar ibu mau makan dan segera minum obat. Tapi, katanya nanti saja. Ibu ingin melanjutkan tidur lebih dulu. Akupun menuju kamarku sendiri untuk mengambil sebuah notebook (mini laptop). Lalu, aku membukanya dan bermain aplikasi facebook.

           Samar - samar aku mendengar suara ayah yang memita tolong ke Tama untuk diambilkan segelas air minum karena kehausan. Setelah itu, ayah meminta Tama untuk mengambilkan selimut. Dan semua perintah ayah, Tama turuti. Tak lama kemudian, ayah tertidur pulas.

           Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku baru ingat, kalau yang lainnya belum makan. Dan aku berinisiatif untuk membangunkan ibu lagi, agar beliau mau makan dan minum obat.

“Bu, bu, makan dulu yuk. Nanti dingin loh nasi gorengnya.” ucapku.

“Iya, dibawa kesini saja.” ucap ibu.

“Ayah dibangunkan juga bu? Tapi, sepertinya pulas sekali tidurnya sampai mendengkur begitu.” ucapku.

“Iya dibangunkan saja tidakpapa.” ucap ibu.

“Tapi bu, kenapa ayah semakin lama suara dengkurnya semakin beda ya? gak seperti biasanya.” ucapku merasa aneh.

“Coba disamperin dulu, dibangunin kayak biasanya.” ucap ibu.

           Akupun menghampiri ayah dan Tama yang sedang tidur bersama di depan televisi. Aku mencoba untuk memegang lengan ayah dan mengguncang-guncang tubuhnya.

“Kenapa tubuhnya seperti ada kelereng yang berjalan ya? Ini bener gak sih aliran darahnya begini? Tapi, kok semakin lama semakin cepat?” gumamku.

“Yah … yah … yah …. Bangun. Kita makan dulu yuk.” ucapku.

           Ayah masih tidak merespon apapun. Tama yang tertidur pulas di samping ayahpun tidak terbangun. Aku mencoba untuk memegang tubuh ayah lagi. Tetapi, kondisinya masih sama. Akupun mulai panik dan tidak berani untuk melihat wajah ayah, karena ayah tidur menghadap ke tembok. Akhirnya, aku bergegas ke kamar menghampiri ibu.

“Bu ... bu ... ayah kenapa? tubuhnya seperti dipenuhi kelereng yang berjalan.” ucapku dengan nada panik.

“Ah apasih gak usah ngaco kalo ngomong.” ucap ibu.

“Kalau ibu gak percaya, pegang aja sendiri.” ucapku.

“Awas ... awas ....” ibu menyuruhku untuk sedikit menepi. Karena, ibu akan turun dari tempat tidur.

           Ibu menapakkan kaki ke lantai dan merangkak - rangkak keluar kamar menghampiri ayah yang masih tertidur. Saat ibu sampai, ibu memegang lengan ayah dan memanggil-manggil ayah sampai beberapa kali.

“Yah ... yah … Astagfirullah ayah kenapa?” ucap ibu.

Aku hanya bisa terdiam, dan Tama tak lama kemudian terbangun karena mendengar suara ibu.

“Deen, panggil tetangga … panggil … minta tolong!” ucap ibu.

           Dan akupun tidak beranjak sama sekali. Karena, masih terpaku dengan kejadian yang aneh ini. Aku terus memandangi ayah dan ibu seperti orang linglung. Akhirnya, ibu memangku kepala ayah dan berusaha membangunkannya lagi. Tapi, tubuh ayah semakin dingin, wajahnya sedikit membengkak, dan meneteskan air mata. Ibupun jalan dengan terseok-seok keluar rumah. Memanggil tetangga - tetangga kami untuk meminta bantuan. Satu persatu orang keluar dari rumah dan menghampiri ibu. Seketika rumah kami ramai orang.

Lihat selengkapnya