Tak seperti biasanya. Jarum jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam, membuatku gelisah memikirkan ke mana Mas Rayyan pergi. Biasanya sebelum Maghrib dia sudah kembali, bahkan kalau pun lebih dari jam biasa, Mas Rayyan selalu mengabari, namun kali ini tidak sama sekali.
Sudah ratusan bahkan aku mencoba menghubungi ke nomornya sejak tadi sore. Namun handphone Mas Rayyan tidak pernah aktif. Bahkan sejak siang, saat jam makan siang tiba. Aku coba hubungi ke kantor, pihak kantor malah mengatakan dia sudah ke luar kantor untuk makan siang yang bisa dipastikan, dia pasti kembali ke rumah. Namun hingga saat ini, jangankan makan siang, makan malam pun Mas Rayyan belum juga kembali.
Kupandangi kedua anakku yah tidur dengan kepala masing-masing berada di pangkuanku. Salsa di sebelah kanan, dan Arhan di sebelah kiri. Seharusnya sudah sejak tadi kubawa kedua anakku ke kamar, bukan malah membuat keduanya tertidur di sofa depan tv hanya karena aku ingin menunggu Appa keduanya.
Aku menghela napas, mencoba menghubungi nomor Mas Rayyan lagi, namun lagi-lagi nihil. Aku mencoba mencari beberapa nomor teman Mas Rayyan di handphoneku yang belum aku hubungi, dan akhirnya kutemukan nomor Fahri, sahabat Mas Rayyan yang sebenarnya bukan satu kantor dengannya. Entah mengapa, aku tertarik dengan satu nomor itu. Tanpa menunggu lama, aku langsung menghubunginya. Berharap akan ada titik terang akan penantianku hari ini.
"Assalamualaikum, Mas Fahri, ini Zheeyaheeya, maaf ganggu waktunya, apa Mas Fahri lagi sama Mas Rayyan?" tanyaku tanpa membiarkan dia jeda setelah ucapan salamku dia balas."
"Rayyan? Aku udah jarang ketemu sama dia, Zhee, mungkin kira-kira sebulanan. Ada masalah, Zhee?"
Aku terdiam. Jawaban Fahri memupuskan harapanku akan keberadaan Mas Rayyan saat ini. Aku menggeleng pelan, seolah-olah ada Fahri di hadapanku.
"Gak ada, Mas, kirain Mas Rayyan lagi di rumah Mas."
"Gak, Zhee, lagian saat ini aku lagi di Bali, udah seminggu di sini."
Aku kembali menghela napas, yang kali ini helaan napas kecewa. Kuusap secara bergantian kepala kedua anakku. Entah apa yang akan kujawab besok, saat keduanya bertanya jam berapa Mas Rayyan pulang malam ini. Apa lagi Salsa yang selalu diajarkan untuk waktu malam, seharusnya berkumpul di rumah oleh Mas Rayyan. Dia pasti akan bertanya-tanya alasan Mas Rayyan belum juga kembali hingga larut.
"Zhee, ada apa?" Terdengar suara Mas Rayyan di seberang yang membuatku kembali tersadar, bahwa panggilan telepon itu belum usai.
"Gak apa-apa, Mas."
"Kamu dan Rayyan bertengkar?" tanya Fahri yang refleks kujawab dengan gelengan kepala.
"Gak kok, Mas, kami gak bertengkar. Cuma ... hari ini Mas Rayyan sedikit aneh."
"Aneh gimana?" tanya Fahri lagi.
"Agh, gak apa-apa, Mas, lupakan aja. Udah dulu ya, Mas, sudah larut. Salam buat Kak Melitha."
"Oke," jawab Fahri yang langsung aku akhiri dengan ucapan salam terlebih dulu, yang dengan suara pelan dia balas. Aku menutup panggilan telepon, meletakkan handphone di atas meja, lantas dengan suara pelan, mencoba membangunkan Salsa. Salsa menggeliat, duduk sembari mengucek-ngucek kedua matanya.
"Kita masuk kamar yuk?" ajakku sembari berdiri dan menggendong Arhan.
"Appa mana, Amma?" tanya Salsa saat aku mengulurkan tangan ke arahnya untuk menggenggam tangannya.