Piknik di mulai. Aku berusaha menyenangkan kedua anakku dengan semua permainan yang sempat dibelikan Mas Rayyan untuk keduanya. Cuaca malam pun tampak cerah yang membuat acara malam itu lancar walau ada kesedihan di dalamnya.
Salsa yang larut dalam permainan, sesekali melihat ke arah pintu rumah, seolah berharap sosok itu hadir bergabung. Namun sebanyak apa pun dia menoleh ke arah yang sama, sebanyak itu pulalah kekecewaan terus dia rasakan. Pria yang dia anggap cinta pertamanya, tak kunjung hadir memberikan kehangatan. Dan aku diam-diam memperhatikan itu.
Kubakar ujung kayu di atas api unggun hasil buatanku sendiri. Sudah setengah jam anak-anak tertidur di dalam tenda. Jarum jam di pergelangan tanganku pun sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Aku tidak bisa tidur, berharap hal yang sama akan kepulangan Mas Rayyan malam ini. Tanpa terasa air mataku menetes, dengan cepat kuhapus kembali karena tak ingin lemah malam ini. Namun semakin kuhapus, semakin deras butiran air itu jatuh melintasi pipiku. Aku akhirnya menyerah, terisak sendirian di tengah malam sembari membayangkan sosoknya ada di dekatku untuk sekedar mengusap kepalaku seperti biasa.
"Kita lewati segalanya bersama ya, sampai tua."
Ucapan Mas Rayyan yang selalu kugenggam erat sejak awal menikah itu, kembali terngiang di telingaku. Ucapan yang diyakini akan terus menjadi pondasi dari hubungan pernikahan aku dan dia, kini malah mulai terlepas dari genggamanku. Entah apa alasan sebenarnya di balik kepergiannya. Seharusnya dia menceritakan semua masalahnya padaku, menumpahkan segalanya di hadapanku, dan mencari solusi bersama seperti biasa, tapi kenapa dia malah memilih melangkah menjauh, meninggalkan aku dengan segudang pertanyaan di kepala. Otakku penat, rasanya ingin meledak. Aku lelah dengan semua pikiran negatif dsn ribuan pertanyaan yang terus berputar di kepala.
"Kamu di mana, Mas, aku rindu," ucapku di sela tangisku sembari memeluk kedua kaki yang kutekuk. Aku sembunyikan wajah di antara lutut, membiarkan angin terus menerpa seluruh tubuh yang mulai merasakan dinginnya malam. Namun hawa panas akibat emosi yang belum bisa kutumpahkan, membuatku bertahan duduk sendirian di luar tenda.
Aku terisak, aku melemah, dan rasanya dunia semakin goyah kurasakan.. Aku tidak bisa lagi berpikir jernih untuk ke depannya. Apa yang akan kulakukan tanpa Mas Rayyan. Jawaban apa yang akan kuberikan pada Salsa yang selalu bertanya hal sama setiap waktu. Bagaimana harus kujalani hidup dengan pengeluaran keuangan yang semakin hari semakin besar sementara, aku sendiri tidak bekerja. Aku bingung bukan main. Kepada siapa lagi aku mengadu, bahkan orang tua sendiri pun aku tak punya. Aku sebatang kara, bahkan jauh sebelum mengenalnya.
Secara tiba-tiba sentuhan lembut terasa di kepalaku. Seketika kuhentikan tangisanku. Dengan lancar, kusebut nama Mas Rayyan yang kuyakini dirinyalah yang kini hadir di hadapanku dan melakukan hal yang seolah dia lakukan setiap aku menangis. Namun ternyata aku salah, harapanku sirna seketika, dengan cepat kuhapus air mata saat mengetahui siapa gerangan yang mengusap kepalaku.
"Amma kenapa nangis?" tanya Salsa yang jelas membuatku bingung. Yang aku tahu, dia sudah terlelap di dalam tenda di samping adiknya. Namun tiba-tiba saja dia berada di depanku.
"Gak, Kak, mata Amma cuma perih kena angin, Kakak kok bangun? Suara Amma bising banget ya?"
Dia menatapku tanpa menjawab apa pun. Entah apa yang kini dia pikirkan. Aku benar-benar takut jika mental Salsa terganggu akibat masalahku dan Mas Rayyan.
"Appa kan, Amma?" tanyanya tiba-tiba.