Hari demi hari, bahkan bulan demi bulan berlalu. Jatuh bangun harus aku lewati seorang diri tanpa hadirnya Mas Rayyan di dekatku. Dibuat pertanyaan bahkan sudah membuatku hapal dari. Kedua anakku tentang di mana Mas Rayyan yang tak kunjung kembali.
Segala cara sudah aku lakukan, melaporkannya ke polisi, pun sudah kulakukan. Namun semua nihil, Mas Rayyan seolah ditelan bumi hingga tak lagi terlihat di ujung dunia mana pun.
Apa aku menyerah? Tentu tidak. Aku masih terus mencarinya walau kini harus harus disibukkan dengan tumbuh kembang anakku dsn usaha kecil-kecilan yang aku bangun sendirian dengan sisa tabungan yang ada. Toko roti dan kue menjadi pilihanku. Segala usaha pun sudah aku coba, tapi selalu gagal. Dan rasanya kali ini tidak salah. Karena sudah hampir tiga bulan aku melakoninya, bahkan yang tadinya hanya usaha rumahan yang hanya men
erima pesanan tanpa menjajakannya, kini sudah mulai kulebarkan sayapku dengan menyewa ruko berlantai dua di pusat kota. Dan toko itu kuberi nama, Sarhan Bakery.
Aku memperhatikan rintikan hujan dari jendela di lantai dua tokoku. Dengan menikmati secangkir kopi, dan sepotong kue, aku mulai mengingat kembali wajah Mas Rayyan yang tak pernah aku lupakan. Hari ini sudah resmi satu tahun pasca kepergiannya. Dan sama seperti sebelumnya, tak ada kabar sama sekali darinya.
Awalnya aku mengira dia hanya lelah dengan rutinitasnya sebagai suami dan ayah. Pergi beberapa waktu untuk memenangkan diri dsn kembali setelah perasannya membaik. Namun hingga kini dia tak kunjung kembali. Aku sempat berpikir dia diculik, dibawa entah ke mana dan dihabiskan tanpa sisa. Namun dengan cepat kutepis pikiran menakutkan itu. Aku masih bisa merasakan, Mas Rayyan masih ada di bumi ini. Detakan jantungnya seolah masih bisa kurasakan di dadaku. Dalam diam aku hanya bisa berdoa, semoga dia baik-baik saja dan ingat kembali ke rumah.
"Permisi, Mbak."
Suara seseorang membuyarkan lamunanku tentang Mas Rayyan. Aku menoleh. Ada Lina di sebelahku, tersenyum tipis dengan celemek berwarna pink yang dia gunakan.
"Ya, ada apa? Sudah waktunya jemput Salsa ya?" Aku melirik ke jam tangan, yang ternyata masih pukul sembilan. Salsa pulang jam sebelas, itupun langsung diantar oleh pihak sekolah menggunakan bus ke toko sesuai permintaanku.
"Bukan, Mbak, ada Ibunya Mbak Zhee di bawah."
"Ibu? Oh iya, minta langsung naik aja, terus sediakan teh manis hangat dan kue yang sama seperti yang saya makan ya."
"Baik, Mbak, permisi."
Lina berlalu pergi. Tanpa menunggu Ibu hadir, kubereskan semua benda di atas mejaku. Laptop, buku, pulpen dan charger handphone langsung aku masukkan ke dalam tas ransel kecil yang sedari tadi kuletakkan di bawah, dekat dengan kaki. Aku bersiap menyambut, dan terlihat Ibu Mertuaku hadir dengan senyuman lebarnya seperti biasa.
"Apa kabar, Bu? Sendirian aja?" tanyaku setelah melakukan cium pipi kanan dan kiri kepadanya, lantas memintanya duduk di hadapanku.
"Ibu baik, Nak, kamu gimana?" tanya Ibu tanpa menjawab pertanyaan keduaku.