Semua duduk di sofa. Berhadapan dengan Mas Rayyan dan Raya di satu sofa yang sama. Raya masih tampak menangis, sedangkan Mas Rayyan hanya bisa menundukkan kepala tak berani menatap semua orang.
Kulirik jam dinding di atas kepala keduanya. Sudah pukul tiga pagi, namun rasanya tak ada kantuk di diriku atau pun di semua orang yang kulihat. Semua masih bergumul dengan emosi masing-masing. Walau tangisku kini sudah mereda, namun hatiku masih sakit mengetahui semua kenyataan pahit ini.
"Kenapa kalian sekongkol menyakiti Ibu?" tanya Ibu yang kembali menangis. Aku yakin, hatinya sangat terluka karena semua ini. Apa lagi bukan hanya Mas Rayyan yang mengecewakannya, tapi Raya pun sama, Raya malah menyembunyikan kesalahan abangnya dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.
"Raya gak bermaksud seperti itu, Bu, Raya gak sekongkol sama Mas Rayyan," bantah Raya lagi-lagi kembali ikut menangis. "Raya gak berani bilang, Bu, bukan karena Raya membela Mas Rayyan."
"Kamu diancam sama dia?" tanya Aldo yang sejak tadi terlihat jelas sudah tidak terlalu menghormati Mas Rayyan sebagai Abang iparnya. Dia selalu melawan, bahkan tidak pernah terdengar olehku lagi panggilan Mas terucap dari bibirnya.
Raya menggelengkan kepala. "Gak, Mas, aku hanya malu, sama kamu. Selama ini, aku selalu ngebangga-banggain Mas Rayyan, meminta kamu selalu menjadi dia. Aku gak siap nerima balasan dari kamu yang pasti marah besar samaku. Aku malu mengatakan bahwa orang yang kuanggungkan selama ini, malah memalukan."
Aku bisa melihat, Aldo menyunggingkan senyuman sinis sesaat, Ibu yang menggelengkan kepala, dsn Mas Rayyan yang masih tertunduk takut. Bukan ini yang sebenarnya ingin aku dengar, tapi tentang awal mula Mas Rayyan mengenal wanita itu.
"Siapa dia?" tanyaku mukai menarik kasus ke intinya.
Mas Rayyan mengangkat dagunya, mengarahkan pandangan ke arahku yang langsung kubalas menatapnya tanpa lepas. Rasanya, aku ingin mengakhiri semuanya di sini, malam ini juga. Agar besok hari, aku bisa melanjutkan hari baru tanpa sesak di dada.
"Dia ... Ayudia, anak dari bosku di perusahaan dulu," jawab Mas Rayyan yang membuat jantungku sesaat berhenti berdetak. Aku kembali teringat kejadian beberapa bulan awal setelah menghilangnya Mas Rayyan. Bos Mas Rayyan di kantor yang bernama Putra, datang ke rumah. Seolah ikut sedih dengan kepergian Mas Rayyan, dia malah datang membawakan beberapa bingkisan penghibur anak-anak agar tidak terus sedih berupa mainan. Namun anehnya, dia malah seolah-olah memintaku untuk ikhlas melepaskan Mas Rayyan. Dan ternyata, inilah maksudnya.
"Aku sudah menikahinya di hari aku meninggalkan kamu, Zhee."