"Dia kecelakaan di hari pernikahanku, Mbak, dan saat itu di waktu aku kalut mendengar kabarnya, Mas Rayyan datang seperti keajaiban untukku. Aku mengira dia adalah calon suamiku, tapi ternyata aku salah. Dan semua sudah terlambat saat aku menyadarinya."
Cerita Ayudia kala itu, kembali teringat di kepalaku. Pembicaraan haru dengan Salsa sebelum tidur, membuatku kini kesulitan untuk memejamkan mata. Jam yang sudah menunjukkan pukul tiga pagi, malah membuatku terus terjaga di temani susu cokelat.
Dulu, aku malah selalu menghabiskan malam bersama Mas Rayyan kala rasa kantuk enggan menghampiri. Bercanda gurau di temani secangkir susu cokelat hingga adzan subuh berkumandang. Namun kini, aku duduk sendirian dengan ditemani surat cerai Mas Rayyan, yang aku letakkan di atas meja.
Jika di tanya bagaimana perasaanku saat ini, jujur aku benar-benar kecewa. Namun di sisi lain, ada rasa lelah yang akhirnya terobati. Rasa lelah yang hadir setelah penantian tanpa kabar dari Mas Rayyan, yang kini malah hadir membawa kabar buruk hingga melayangkan surat terakhir pernikahan itu.
Di satu sisi, aku sedih. Sedih teramat sangat, membayangkan nasibku dsn kedua anakku yang setelahnya akan hidup tanpa hadirnya seorang pria, yang kami anggap pahlawan di rumah kecil kami. Pria yang selalu kami harapkan bisa menjaga dan melindungi kami dari apa pun. Pria yang akan menjadi tempat bersandar ternyaman saat rasa lelah menghampiri. Namun kini, dia malah memilih tempat yang lain, jauh dari aku dan kedua anakku.
Namun di sisi lainnya, rasa syukur dipanjatkan tanpa henti. Karena aku mengetahui segalanya, setelah aku berhasil bangkit menggapai hidup yang semula dilakukan Mas Rayyan untuk keluarga kecilnya. Aku punya penghasilan sendiri, aku mulai mandiri, bisa mengurus segalanya termasuk kedua anakku yang semula, selalu berbagi tugas dengannya. Kedua kakiku sudah lebih kuat dari sebelumnya. Tanganku yang selalu menggandengnya, kini mulai mampu bergerak tanpa harus mencari pegangan. Dan semua itu, terjadi setelah aku mendapatkan segalanya, hingga aku tak lagi merasa goyah saat surat cerai ini melayang ke arahku.
"Aku mencintainya, tolong tanda tangani saja."
Kali ini ucapan Mas Rayyan yang terngiang di telinga. Dari kalimatnya, terlihat jelas dia sudah mencintai wanita itu. Dan mungkin lebih dariku. Aku menundukkan kepala, membiarkan rasa hangat dadi susu yang baru saja selesai kuteguk, masuk menyentuh dadaku. Bukan hangat yang terasa, namun sakit yang teramat sangat. Seolah susu hangat itu mampu menyiram luka di hatiku yang terdalam.
Kunci surga yang dia kejar, kini aku sadari bukan lagi padaku. Mungkin bukan surga sepertiku yang dia cari, bisa saja surga yang dia impian ada di sosok Ayudia. Dia cantik, wajahnya menawan, pastur tubuh yang cukup menangis semua mata pria. Jangankan bagi kaum Adam, aku saja yang melihatnya ikut berdecak kagum. Dan aku yakin Mas Rayyan pun sama sepertiku yang langsung tertarik padanya, hanya dari pandangan pertama.
"Amma."
Aku menghapus cepat air mataku. Menoleh ke asal suara yang ternyata Salsa terbangun dari tidurnya. Dia melangkah menuruni tempat tidur, mendekatiku lantas berdiri di hadapanku sembari menatap wajahku. Aku berusaha tersenyum, mencoba meyakininya bahwa aku baik-baik saja. Sialnya dia malah menatapku sedih, seolah tahu bahwa aku sedang terluka.
"Appa jahat ya sama kita," ucapnya tiba-tiba yang membuatku terenyuh. Beban yang cukup berat memang harus dia pikul sebagai anak pertama dsn juga kakak dari Arhan. Padahal seharusnya dia masih bebas tanpa masalah.