Ini keputusan berat untukku. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, jika di satu hari dalam masa pernikahanku dengan Mas Rayyan, aku harus menandatangani surat terakhir dalam ikatan pernikahan ini. Semula aku membayangkan, cintaku dan Mas Rayyan akan berakhir karena maut memisahkan, di saat perjanjian hidupku atau Mas Rayyan berakhir. Namun ternyata tidak. Aku memang harus menandatangani sebuah surat, tapi bukan akhir dari napasku, melainkan akhir dari pernikahan indah bersama lelaki pilihanku.
Lama Kupandangi surat di atas meja di hadapanku kini. Sudah setengah jam aku duduk sendirian di ruang kerjaku di Bakery. Janji temu dengan Mas Rayyan, ulur karena dia belum juga hadir sesuai janji.
Aku memang ingin menandatangani surat itu di depan matanya. Sama seperti saat aku menandatangani buku nikah kala itu. Semua harus berakhir di hadapan masing-masing, seperti dulu saat kami memulainya. Dan lagi-lagi semua ini cukup sakit untukku terima.
Teringat kembali percakapan aku dan Salsa tadi malam. Aku memang berniat memberitahunya bahwa semua sudah tidak utuh lagi. Walau Ibu mertuaku melarang, dan Raya pun memohon jangan, tapi aku harus melakukannya agar rasa trauma di diri Salsa, tidak semakin membesar akibat dibohongi.
"Kenapa harus bercerai, Amma?"
Pertanyaan Salsa membuat hatiku terkuras sakit. Tatapannya pilu, suaranya lirih dengan getaran tangis yang masih tertahan. Malam dengan ditemani suara rintikan hujan di luar kamar kala itu, membuat suasana semakin mengharu biru. Kupandangi Arhan yang tertidur di sampingku, di atas tempat tidur, lantas kembali kuarahkan sorot mata ke Salsa. Aku tersenyum, menggenggam tangannya mencoba menyalurkan kekuatan yang sejujurnya, kekuatanku pun mulai melemah.
"Apa Appa dan Amma tidak saling mencintai lagi?" tanyanya lagi setelah memastikan aku belum juga berniat membalas kalimatnya.
Kutarik napas dalam-dalam, lantas menghembuskannya perlahan. "Amma dan Appa bercerai bukan karena sudah tidak saling cinta, Kak, tapi karena ada hal-hal yang sulit untuk disatukan."
"Hal apa, Amma?" tanya Salsa lagi yang disusul air mata jatuh melintasi pipinya. Lagi-lagi hatiku melemah, detakan jantungku sesaat melaju pelan, darah berdesir hangat di tubuhku.
"Amma minta maaf sama Kakak, Amma belum bisa cerita hal apa itu. Yang pasti suatu saat nanti dengan sendirinya, Kakak akan tau alasan sebenarnya Amma dan Appa bercerai."
Salsa menundukkan kepala. Aku tahu gelagat itu, dia akan melakukan gerakan itu saat dia ingin menangis tapi tak ingin dilihat orang lain. Berulang kali kuucap rasa takjub melihat putri kecilku yang sebentar lagi baru beranjak usia enam tahun. Usianya masih muda, sangat muda, tapi kedewasaannya melebihi orang-orang yang usianya sudah mencapai jauh di atasnya.
"Apa karena Tante Cantik itu, Amma?" tanya Salsa yang masih belum mau melihatku.
Dia mengingatnya. Entah apa yang dipikirkannya semenjak pertemuan dengan Ayudia kala itu, hingga berhasil membuat kesimpulan setepat itu. Aku bisa merasakan dia terluka. Sakit rasanya membayangkan akan seperti apa Lika liku pergolakan batinnya saat ini. Rasanya aku ingin membawa kedua anakku jauh dari Mas Rayyan dan semua masalah yang dia timbulkan.
"Tante Cantik itu ambil Appa dari kita kan, Amma?" tanyanya lagi yang kali ini tatapannya terarah padaku. Benar saja, dia menangis. Air mata sudah membanjir wajahnya kecuali kening. Tak tega rasanya melihatnya seperti itu. Andai saja Mas Rayyan bisa melihat langsung luka batin sang anak, aku yakin dia akan menyesali semua perbuatannya selama ini.
"Kak, jangan pernah salahkan siapa pun atas apa pun yang terjadi, ini sudah jalannya untuk Amma, Kakak dan Adik, Amma gak suka lihat Kakak menyalahkan siapa pun, terutama Tante itu."
Salsa kembali menundukkan kepala. Terdengar olehku suara isakan tangisnya yang memilukan. Kubiarkan dia menuntaskan emosi di dada lewat air mata. Aku tidak ingin beban itu terus menetap di hatinya, hingga membuatnya terluka semakin dalam.