TUHAN, PELUK AKU SESAAT

Mahfrizha Kifani
Chapter #17

BAB 17 - ADA AIR MATA DI SETIAP TEMPAT

Sore ini hujan. Cukup deras, hingga membuatku betah duduk di dalam mobil setelah memarkirkannya di depan rumah. Sudah sejak satu jam lalu hujan turun tanpa henti. Walau tanpa petir, tapi teras cukup menakutkan bagiku.

Sebenarnya bukan karena hujan aku memilih diam di dalam. Namun karena air mata yang masih saja tumpah dan enggan aku tampakkan di depan anak-anak. Salsa sudah terlalu terluka dengan sikap Mas Rayyan yang tidak biasa padanya. Aku takut jika Salsa melihatku menangis, kebencian semakin mendalam di hatinya untuk Mas Rayyan.

Tangisku masih pecah, napasku sesak, berulang kali kuhantamkan tangan ke stir mobil berharap rasa sakit di hati terdalam, bisa berkurang karena berbagi dengan tangan.

Ini semua terlalu cepat. Bagai hantaman peluru yang langsung ditembakkan ke jantungku. Aku terluka, namun tak berdarah sama sekali. Entah bagaimana caranya menyembuhkan luka kali ini tanpa Mas Rayyan di sampingku, untuk sekedar menjadi tempat bersandar dan berkeluh kesah. Aku kembali sendirian, dan sampai kapan pun akan terus sendirian setelah palu hakim dihantamkan ke meja nantinya.

Aku menarik sorot mata ke cincin yang masih melingkar di jari manis tangan kananku. Cincin tanda janji suci yang dipasangkan langsung oleh Mas Rayyan. Cincin yang tak pernah terlepas dari jari manisku, kini malah harus dipaksa terlepas setelah semua berakhir.

Aku sengaja belum melepasnya. Walau salah satu alasannya adalah cinta, namun alasan lainnya karena aku ingin Mas Rayyan sendirilah yang melepaskannya, seperti saat dia memasangnya dulu.

Yang aku tahu, cinta tak sesakit ini. Mas Rayyan yang menjadi cinta pertamaku sejak bertahun-tahun, aku tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya dari seorang pria asing, malah tega menjadi orang pertama yang melukaiku, membuatku tidak lagi mempercayai bahwa cinta tidak akan mengkhianati.

Kusandarkan tubuhku, menatap ke luar jendela yang masih diguyur hujan. Di tempat ini, aku mengawali semuanya bersama Mas Rayyan. Dari mulai hanya berdua, bertiga lantas berempat setelah Arhan lahir ke dunia. Sedih, tawa, gundah gulana semua kami lewati bersama. Di rumah dua lantai dengan tambahan taman kecil di depan rumah.

Semula aku berpikir rumah ini akan di warnai kebahagiaan, sampai aku dan Mas Rayyan menua bersama, melihat anak-anak tumbuh hingga menemukan kebahagiaan masing-masing dengan senyuman. Apa lagi aku pernah membayangkan, akan ada Salsa kecil dan Arhan kecil yang bisa menemani hari tuaku dan Mas Rayyan.

Namun, semua itu kini hanya khayalan semata. Aku terlalu berlebihan mengkhayal dan merencanakan, tanpa menyadari masih ada skenario Allah yang menjadi jalan utama bagiku.

"Jangan ada wanita lain di pernikahan kita ya, Mas?"

"Seharusnya Mas yang bilang ke kamu, jangan ada pria lain di hati kamu selain Mas, kamu kan banyak fansnya."

Percakapan itu membuat tangisku semakin menyakitkan. Candaan demi candaan tentang hadirnya sosok lain di antara kami, kini malah terjadi begitu cepat. Entah siapa yang salah sebenarnya, aku, Mas Rayyan atau malah Ayudia. Yang pasti kini yang menjadi korban adalah kedua anakku yang tak tahu apa-apa.

Suara gedoran jendela membuatku kaget bukan main. Aku menoleh ke jendela kiri, ada Raya di sana yang tampak berdiri menggunakan payung. Dengan cepat kuhapus air mataku, membuka kunci mobil yang alhasil Raya langsung menyerbu masuk, sembari menutup payung sebelum menutup pintu.

"Mbak kenapa?" tanya Raya setelah mengamatiku begitu dalam. Aku mencoba tersenyum, menggeleng pelan, lantas membuang pandangan ke jendela di sisi kanan, aku tidak ingin Raya menyadari masih ada sisa air mata di pipiku.

"Jangan menangis sendirian, Mbak, Mbak Zhee masih punya Raya," ucapnya lagi yang malah membuatku kembali menangis. Namun masih aku tahan agar tidak melemah di hadapannya.

"Anak-anak sedang apa di dalam? Maaf ya, Mbak jadi repotin kamu buat jaga anak-anak."

"Mereka di jendela melihat mobilmu, Mbak," jawab Raya yang membuatku langsung menoleh ke jendela depan rumahku. Meskipun tidak terlihat ke dalam, namun aku yakin mereka masih berdiri di sana.

"Salsa khawatir karena Mbak belum juga masuk ke rumah, dia memintaku untuk melihat Mbak Zhee," lanjut Raya sembari menggenggam tangan kiriku. "Mbak, aku ada di sini buat Mbak. Jangan menangis sendirian, cerita samaku."

Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya kasar lantas kembali menangis. Kupeluk tubuh Raya erat. Sakit itu mencuat kembali, namun kali ini aku tidak sendiri melewatinya.

Lihat selengkapnya