"Apa separah itu, Miss?" tanyaku kaget bukan main. Miss Linda tampak mengangguk yang membuatku semakin hancur bukan main.
Aku tahu, ini pasti terjadi. Pembahasan tentang sikap Salsa di sekolah yang lebih sering menyendiri dari pada bergabung bersama yang lainnya, membuatku kini mengerti arti kemarahannya pada Arhan waktu itu. Salsa menyimpannya sendirian. Berusaha baik-baik saja di depanku agar tidak membuatku khawatir.
"Beberapa nilai kuisnya pun menurun, Bu, selain menyendiri, dia juga sering marah-marah sama teman-temannya, Salsa juga sering kedapatan oleh saya dan beberapa guru lainnya, menangis sendirian."
Aku terdiam. Ingatanku tertarik ke sikap Salsa di rumah yang tampak baik-baik saja. Perubahan sikapnya hanya saat malam itu, saat di mana dia membentak Arhan. Itu saja.
Aku menarik napas dalam-dalam, lantas menghembuskannya perlahan. Mencoba menarik ketenangan yang menghilang dalam diriku semenjak mengetahui segalanya. Aku terpukul, bahkan sakitnya berhasil mengalahkan luka yang ditorehkan Mas Rayyan padaku.
"Saya tau, Bu, masalah yang sekarang Ibu hadapi dengan Pak Rayyan cukup berat. Bahkan sudah menjadi konsumsi publik," lanjut Miss Linda yang membuatku menyesal sudah menyebar berita tentang hilangnya Mas Rayyan. "Tapi alangkah baiknya, Salsa diajak bicara dari hati ke hati oleh Ibu dan Bapak. Karena yang saya takutkan, dia malah menerima informasi dari orang lain dengan cara yang salah."
"Tapi, apa bicara dengannya dan mengatakan segalanya pada anak usia seperti Salsa, baik untuk mentalnya, Miss?"
"Saya rasa itu lebih baik," jawabnya serius. "Karena masalah ini sudah menyebar ke mana-mana. Siapa pun yang dia temui, bisa membuatnya terluka. Entah itu karena ledekan, atau karena cerita tentang Appanya."
Ini berat. Sangat berat. Aku tahu Salsa seperti apa. Dia ceria, banyak tanya, dan selalu aktif di sekolah, baik di kelas mau pun saat bersama teman-temannya. Sifatnya yang cukup ramah, membuatnya disukai banyak orang. Namun kini semua berubah. Dan semua itu dia pendam sendirian tanpa mau berbagi padaku sebagai Ibunya.
Aku melangkah ke luar dari ruangan Miss Linda. Setiap langkah, ku ukir dengan mencoba mencari cara untuk bisa menyembuhkan Salsa. Aku tidak ingin dia menjadi anak yang tertutup, sulit diajak berteman atau malah semakin parah dengan ketidakstabilan emosinya. Aku tidak ingin dia tumbuh menjadi anak yang tempramen dan sulit diatur.
Aku berhenti tepat di depan jendela kelas Salsa. Dia di sana, duduk satu meja dengan Alika dengan ekspresi murung. Semua teman-temannya berseru bersama mengikuti ucapan wanita di depan kelas yang sedang mengenalkan kata demi kata baru. Namun Salsa, malah melipat tangannya di atas meja dan membiarkan dagunya menempel di atas tangannya.
Andai saja bisa kuputar kembali waktu, aku ingin mengurungkan niatku mencari Mas Rayyan lewat sosial media. Seharusnya aku bisa berpikir jernih sebelum melakukannya. Seharusnya aku berpegang teguh sama keyakinanku akan kembalinya Mas Rayyan dengan sendirinya. Seharusnya aku simpan sendirian masalah ini, dan bukan malah membaginya.
Aku salah, sangat salah. Mungkin Mas Rayyan salah karena yelah mengkhianatiku dan mengecewakan anak-anak yang sangat mencintainya. Tapi soal Salsa, akulah yang salah. Hukuman sosial yang dia terima akibat keteledoranku, membuat anak sulungku hancur tanpa bisa aku cegah.
Air mataku menetes. Dengan cepat kuhapus sebelum ada yang melihat. Aku tidak ingin menjadi objek kaers banyak orang karena luka yang masih membekas. Aku tahu, banyak orang yang ingin tahu berita kelanjutan tentangku saat ini. Dan rasanya, aku ingin menutup segalanya. Termasuk jalur bagi semua orang mencari celah dari diriku.
***
"Kakak gak mau ice cream?" tanyaku pada Salsa yang sudah duduk di hadapanku.