Malam kian larut, dan seperti biasa aku sulit tidur. Namun kali ini, bukan susu cokelat yang menjadi peneman sepi malam ini, melainkan kedua anakku yang sudah tertidur lelap di sampingku.
Kuusap rambut keduanya penuh kasih sayang. Tidur di kamarku, menjadi permintaan keduanya setahun belakangan ini, tepatnya setelah Mas Rayyan tak ingat kembali.
Kutatap sedih keduanya. Entahlah, saat ini aku sendiri tidak mengerti kesedihan apa yang kini kurasakan. Sedih karena akan bercerai dengan Mas Rayyan, atau malah karena melihat kedua anakku hancur perlahan. Seharusnya di usia saat ini, baik Salsa mau pun Arhan masih bermain dan tertawa bersama orang-orang yang disayanginya, yang tidak lain adalah aku dsn Mas Rayyan. Keduanya seharusnya mengisi masa kanak-kanaknya dengan kenangan terbaik. Tapi kini malah dengan air mata yang tak kunjung berhenti.
Salsa yang menjadi korban paling utama, membuatku hancur berkeping-keping. Anak perempuan yang seharusnya bisa mendapatkan cinta dari Appanya sendiri, yang menjadi pacar pertama untuknya, malah tega berkhianat. Dia terluka. Dan luka itu aku yakini akan menjadi satu trauma besar yang sampai besar nanti, akan dia bawa ke mana pun dia pergi.
Bagiku, trauma itu persis seperti selamat dari kecelakaan. Lukanya sembuh, namun rasa takutnya takkan pernah menghilang sampai kapan pun. Sempat terlintas di pikiranku, untuk membawa Salsa ke psikolog anak. Sekedar membiarkan dirinya lebih tenang, dengan konsultasi bersama Dara, sahabatku. Namun aku masih tidak tega mengajaknya ke sana. Aku cemas dia akan takut jika harus menceritakan segala isi hatinya pada orang lain. Karena selama ini, Salsa hanya menceritakan isi hatinya padaku, atau Mas Rayyan.
Aku menghela napas pelan, kuusap air mataku yang tumpah tanpa aku sadari sebelumnya. Aku kembali mengeluarkan kelemahanku melalui air mata. Seharusnya aku sudah lebih kuat sekarang, karena Mas Rayyan benar-benar ingin terlepas dariku bukan secara tiba-tiba, tapi setelah dia membiarkanku belajar tanpanya selama setahun lebih.
"Ngapain sih, Mas, buat rumah besar-besaran begini, cuma satu lantai saja, aku sudah senang kok," ucapku beberapa tahun lalu saat Mas Rayyan mendiskusikan design rumah langsung di hadapanku. Aku kembali mengingat kejadian itu. Kejadian di mana seakan menjadi isyarat bahwa hari ini akan tiba.
"Untuk kamu dan anak-anak kita," jawabnya yang sempat membuatku bingung. "Aku mau, kalian punya tempat tinggal yang nyaman dan aman."
"Satu lantai juga aman kok," jawabku yang masih berpikir keras dengan penjagaan rumah. "Malah sedikit merepotkan."
"Mas punya cita-cita bangunkan rumah besar buat kamu dan anak-anak, jadi kalau seandainya Mas gak ada, dan kalian butuh uang yang cukup banyak, rumah ini bisa langsung dijual. Pasti harganya bakalan lebih mahal."
"Emangnya Mas mau ke mana?"
Pertanyaanku waktu itu belum sempat dijawab Mas Rayyan. Saat itu, panggilan teleponnya berbunyi, dsn Mas Rayyan langsung berlalu dari hadapanku untuk menjawabnya. Dan inilah jawaban atas pertanyaanku. Seolah sudah dia rencanakan matang-matang, rumah ini akhirnya menjadi milikku dan anak-anak. Bahkan untuk pencatatan nama di sertipikat saja, Mas Rayyan hanya mencantumkan namaku saja, dan bukan namanya.