Aku menepati janjiku.
Dengan dibantu Bik Minah, akhirnya kami tiba di kolam renang yang menjadi tempat kesukaan Salsa dan Arhan. Keduanya tampak antusias, berlari kecil menuju pondok yang menjadi tempat kami berteduh selama dia area kolam renang.
Bik Minah meletakkan plastik berisi makan siang ke atas meja yang tersedia. Sedangkan aku mulai disibukkan dengan Arhan yang tidak sabar mengganti pakaiannya. Salsa sendiri lebih membuatku longgar, karena dirinya sudah langsung memakai baju renang yang cukup tertutupi untuk anak seusianya dari rumah. Sedangkan Arhan, persis seperti Mas Rayyan yang tak suka menyiapkan semuanya di awal.
"Kakak nanti jagain Adek selama berenang ya? Amma titip Adek, mainnya di kolam renang ini aja, jangan ke mana-mana," pesanku sembari mengarahkan telunjuk ke kolam renang anak di depanku. Aku memang sengaja memilih pondok dekat dengan kolam anak-anak, agar bisa lebih memantau keduanya, mengingat aku dan Bik Minah tidak ada yang ingin berenang saat ini.
"Iya, Amma," jawab Salsa.
"Amma gak berenang?" tanya Arhan yang membuatku tersenyum sembari menggelengkan kepala. Sesaat dia tampak sedih, tapi sesaat kemudian senyumannya kembali saat Bik Minah memberikan ban plastik untuk membantunya berenang yang dibawa dari rumah. Aku tertawa melihatnya, lantas mengantarkan keduanya masuk ke dalam kolam renang.
Aku kembali duduk, mengambil handphone, lantas mengambil gambar keduanya yang asyik bermain. Suasana kolam renang pagi ini memang belum terlalu ramai. Ada beberapa anak yang sudah datang dan bermain di kolam yang sama, sedangkan di kolam dewasa hanya ada tiga orang dewasa.
Senang rasanya hatiku melihat kedua anakku kini berhasil menciptakan kebahagiaannya sendiri. Aku tidak bisa membayangkan, jika keduanya tahu tentang persidangan pertama yang akan dilakukan besok. Aku yakin, Salsa pasti akan sedih mendengarnya, dan Arhan akan ikut sedih karena melihat sang kakak menangis. Walau dia sendiri belum begitu mengerti ada apa sebenarnya.
Pembicaraan tadi malam dengan Mas Rayyan, jujur membuat mood-ku sedikit kacau pagi tadi, saat kedua mataku kembali terbuka. Entah apa maksudnya menghubungiku tengah malam seperti itu. Mungkin karena Ayudia sedang terlelap, jadi dia lebih leluasa melakukannya, atau karena Ayudialah yang memintanya untuk mengingatkan aku perihal persidangan nanti.
Aku takut berspekulasi terlalu tinggi, takutnya slah dan ujung-ujungnya malah menimbulkan fitnah kejam yang sebenarnya tak akan menimbulkan masalah besar. Hanya saja kini aku enggan mengada-ada, setahun sudah aku mengada-ada banyak hal. Kepergian Mas Rayyan membuatku terus mencari alasan tentangnya. Mungkin dia bekerja, mungkin dia sedang ada masalah yang tak ingin dia bagikan, bahkan kemungkinan terburuk sudah aku bayangkan, bahwa dia telah tiada.
Aku terlalu lelah jika sekarang kembali menyimpulkan sesuatu kejadian di kepalaku. Biarlah semua mengalir apa adanya, aku hanya ingin melangkah mengikuti skenario, yang sudah dirancang sebegitu indah oleh Allah. Aku percaya, akan ada banyak hal baik yang sedang menantiku dan kedua anakku.