Liburan belum berakhir. Sepulangnya dari berenang yang cukup hetic karena pertemuan dengan Mas Rayyan, aku mencoba mengalihkan ingatan anak-anakku lagi dengan mengajak keduanya makan di cafe. Arhan tampak antusias, berpegangan dengan Bik Minah sembari masuk ke cafe, namun bukanncafe kemarin, karena aku tidak ingin membuat mood Salsa semakin bertambah buruk.
Namun pemandangan menyedihkan berhasil ditangkap kedua mataku. Berbeda dengan Arhan yang sudah masuk ke cafe, Salsa malah duduk diam di mobil dengan wajah sedih. Aku yang melihatnya tidak turun, memutuskan untuk menghubungkan Bik Minah di dalam, untuk langsung memesan makanan, dan kembali fokus ke Salsa yang sejak tadi, duduk di sampingku yang bertindak sebagai supir.
"Kakak kenapa, kok gak turun?" tanyaku lembut, tak ingin menyakitinya.
"Kenapa Appa ada di sana, Amma?" tanya Salsa akhirnya sembari mengarahkan sorot matanya kepadaku. "Apa Amma yang ajak Appa berenang juga?"
Aku menggeleng cepat. "Amma gak ada ajak Appa, Appa sendiri mungkin yang lagi pengen berenang di sana. Kita gak bisa larang kan?"
"Tapi Kakak gak mau lihat Appa," isaknya akhirnya yang berhasil membuatku terluka. Salsa menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu menumpahkan segala beban yang dia sembunyikan dari sang adik.
Dengan gerakan lembut, aku mengusap kepalanya. Mencoba mengirimkan ketenangan yang aku yakin Salsa sangat membutuhkannya kali ini. Rasanya sudah cukup bagi Salsa menjadi kuat. Anak seusianya, tidak sepantasnya terlibat dengan tekanan batin yang begitu hebat.
"Kakak capek ya?" tanyaku yang langsung dijawabnya dengan anggukan sembari terus menangis. "Kakak mau Amma lakuin apa biar Kakak gak capek lagi?"
Salsa menghapus air matanya. Sekuat tenaga dia berusaha memberhentikan sesak akibat tangisannya. Dia kembali menatapku dengan tatapan pilu, hatiku teriris karenanya.
"Amma bercerai saja sama Appa," ucapnya tiba-tiba yang sontak saja membuatku kaget bukan main.
Aku belum memberitahukannya soal perceraianku dsn Mas Rayyan yang sebentar lagi akan terjadi. Aku belum tega mengatakannya. Tak ada anak yang ingin melihat kedua orang tuanya berpisah. Bahkan banyak kejadian di luar sana, wanita dan pria harus merelakan rasa kecewanya demi membahagiakan anak-anaknya yang ingin melihat kedua orang tuanya tetap bersama.
Namun tidak untuk Salsa. Dia malah menginginkan hal itu terjadi. Entah dari mana dia belajar arti kata itu, yang pasti aku tidak pernah mengajarkannya tentang masalah terbesar dalam sebuah pernikahan.
"Amma gak usah sama Appa lagi, Amma pisah saja ddi Appa," ucapnya berulang kali dengan nada suara tegas. "Appa udah jahat sama kita, Appa udah gak sayang kita lagi."
"Kakak tau apa itu perceraian?" tanyaku mendasari ucapanku selanjutkan. Aku tidak ingin membahas lebih dalam, jika tentang perceraian saja, Salsa tidak paham.
Dia mengangguk cepat. "Kakak tau, Amma dan Appa berpisah, gak satu rumah lagi, gak sama-sama lagi."
"Apa Kakak tau kali itu berarti selamanya?" tanyaku yang sesaat membuatnya terdiam. Cukup lama, sampai akhirnya dia mengangguk.
Aku mengembangkan senyuman, lebih tepatnya mencoba tersenyum demi menenangkan hati Salsa agar tidak syok dengan kalimat selanjutnya yang harus dia dengar sampai tuntas.