Aku tidak mengerti, kenapa Mas Rayyan begitu keukeh menceraikanku. Entah karena tidak sabar, atau memang iseng semata, Mas Rayyan terus saja menghubungiku bahkan saat larut.
Aku tahu, dia sudah ingin menceraikanku. Namun rasanya sikapnya terlalu berlebihan. Dia terus menerus mengingatkanku untuk datang ke persidangan yang akan diadakan hari ini. Bahkan bukan hanya lewat telepon saja dia menerorku, tapi juga melalui pesan singkat yang terus menerus tanpa henti.
Aku menarik napas dalam-dalam, bersama Raya, aku memarkirkan mobil di parkiran pengadilan. Seharusnya Ibu ikut serta hari ini. Namun kondisinya yang sedang drop, membuatku tak tega jika harus memaksanya. Dia butuh istirahat, bahkan akan lebih baik baginya untuk tidak bertemu langsung dengan sang anak yang sudah membuat wajahnya tercoreng.
"Mbak," panggil Raya yang membuatku menoleh padanya. "Mbak gak perlu datang kalau belum siap."
Aku tersenyum, mencoba meyakinkannya bahwa saat ini, Zheeya yang ada di hadapannya sudah bukan Zheeya yang dulu. Aku sudah jauh lebih kuat.dari saat pertama kali surat itu melayang ke arahku. Salsa dan Arhanlah yang menjadi sumber kekuatanku. Aku tidak ingin dianggap lemah di depan hakim nanti, saat masalah hak asuh anak mulai disinggung.
"Mbak baik-baik aja, kita turun sekarang yuk."
"Mbak yakin?" Aku hanya mengangguk lantas melangkah turun diikuti Raya yang ke luar dari pintu berbeda.
Langkahku berat, dadaku sesak. Rasanya aku enggan melangkah masuk ke dalam. Situasi itu semakin menekanku, saat kedua mataku menangkap sosok Mas Rayyan berdiri bersama pengacaranya. Tidak ada Ayudia di sana. Aku tidak tahu, dia datang menemani sang suami, atau malah memilih menyembunyikan diri dari khalayak ramai karena wajahnya sudah tercoreng akibat statusku waktu itu.
"Akhirnya kamu datang juga," ucap Mas Rayyan yang membuatku muak dengan basa basinya. Dia mengalihkan pandangan ke Raya yang tampak enggan menatapnya. Berniat memeluknya, namun dengan cepat Raya menolaknya lantas mengajakku ke dalam. Aku hanya menurut, melangkah tanpa berpamitan dengan Mas Rayyan yang menatapku pilu.
***
"Anda serius?" tanya hakim saat mediasi dilakukan.
Aku menarik napas dalam-dalam, lantas menghembuskannya kasar. Yang aku tahu, aku hanya ingin semuanya selesai secepatnya. Aku sudah tidak berharap lagi dengan hubungan toxic ini. Bahkan aku yakin, tanpa kehadirannya pun, baik aku mau pun anak-anak akan baik-baik saja.
"Saya serius, Pak Hakim. Saya ingin bercerai," jawabku tanpa menoleh ke Mas Rayyan yang duduk di sampingku. Sedangkan Raya memilih duduk di luar agar mediasi bisa berjalan lancar tanpa emosi darinya yang bisa saja terpancing.
Terdengar helaan napas dari hakim. Aku sendiri hanya menundukkan kepala. Ruang mediasi yang tidak terlalu besar, membuat pendingin ruangan bekerja cukup maksimalkan. Aku kedinginan, rasanya tak kuat terlalu lama di dalam.
"Pak Hakim, soal hak asuh anak, saya limpahkan sepenuhnya kepada Zheeya, saya tidak ingin anak-anak diperebutkan. Hanya saja, saya minta sesekali bisa mengajak mereka jalan-jalan."