TUHAN, PELUK AKU SESAAT

Mahfrizha Kifani
Chapter #24

BAB 24 - APPA, KAMI RINDU

Sudah tiga bulan berlalu, dan sudah tiga bulan juga aku resmi menyandang status janda dari Mas Rayyan yang kembali menghilang tanpa kabar pasca perceraian terjadi. Janjinya di depan Hakim untuk mengunjungi kedua anaknya setiap weekend, hanya angin lalu semata. Bahkan Minggu pertama setelah perceraian pun, batang hidungnya tidak terlihat.


Meski pun begitu, hubunganku dan keluarga Mas Rayyan berbanding terbalik dengan hubunganku dan dia yang telah berakhir. Ibu dan Raya, malah semakin datang berkunjung. Bahkan kini Raya kembali hamil anak kedua, dan aku cukup bahagia mendengarnya, melihat hubungan pernikahan Raya yang baik-baik saja.


"Apa Appa akan datang, Amma?"


Pertanyaan itu kembali hadir setelah tiga bulan berlalu. Kupandangi wajah Arhan yang menatapku penuh harap. Jelas saja dia memintanya, besok adalah kali pertama dia masuk sekolah. Walau masih Yaman Kanak-kanak karena usianya yang masih empat tahun, namun dia pasti ingin seperti sang kakak di hari pertama sekolah, yang ditemani lengkap denganku dan juga Appanya.


Salsa yang saat itu sedang memasukkan beberapa buku ke tasnya, langsung menoleh. Aku yang menyadari tatapan Salsa, perlahan menggelengkan kepala, memberi isyarat untuk Salsa agar tidak memarahi Arhan hanya karena menyebut nama sang Appa. Salsa tampak mengerti, dia mengembangkan senyuman sembari mendekati Arhan.


"Kalau Appa gak bisa datang, gak apa-apa kan? Kan ada Amma sama Kakak yang temani Arhan."


"Tapi dulu Kakak ditemani Appa sekolah, masa Adek enggak," balas Arhan yang masih membuatku bingung harus memberikan jawaban apa.


"Kakak kan dulu sekolah, sedangkan Adek cuma ke TK, jadi gak perlu Appa dagang."


Arhan kembali menoleh ke arahku dengan tatapan sedihnya. Aku terluka melihatnya. Rasanya aku ingin menghubungi Mas Rayyan saat ini juga dan mengemis memintanya datang. Sayangnya egoku mengalahkan keinginanku saat ini.


"Apa benar Appa sesibuk itu, Amma?"


Aku kembali terluka. Pertanyaan darinya berhasil membuatku meyakini, bahwa ternyata luka itu masih ada. Selama ini aku pikir, semua sudah sembuh seiring berjalannya waktu. Bahkan baik hati mau pun otakku, sama sekali tidak mencari di mana keberadaan Mas Rayyan.


Namun ternyata aku salah besar. Hatiku menyimpan segalanya rapat-rapat. Lubang luka itu masih belum mengering, dan kini kembali ke permukaan akibat tertarik pertanyaan Arhan.


"Appa kerja apa sih, Amma, sampai gak pulang-pulang?" tanya Arhan lagi. "Amma bilang, sebentar saja, tapi sampai Adek masuk sekolah, Appa belum balik juga. Sekali aja pun gak pernah."


Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan sembari mengembangkan senyuman. Aku tak ingin lemah hanya karena alur lukaku kembali mendominasi. Biar bagaimana pun, semua itu sudah berlalu, dan yang seharusnya menyesal bukan aku, tapi Mas Rayyan.


"Adek mau Appa datang ya?" tanyaku yang masih bingung harus membalas dengan kalimat apa. Arhan mengangguk cepat yang membuatku semakin yakin, kalau dia benar menginginkannya.


"Gak usah, Adek, Appa sibuk," tolak halus Salsa yang sudah duduk di belakang Arhan di atas tempat tidur. "Appa gak akan punya waktu buat temani Adek ke sekolah."


"Tapi Adek mau ditemani Appa!" Arhan mulai merengek yang membuatku harus ekstra sabar menanganinya.


Di tengah kebisingan suara tangis Arhan, kutangkap sorot mata Salsa yang terarah padaku. da kesedihan di sana. Entah kenapa, aku malah langsung bisa menebak kalau anak sulungku itu, juga merindukan pria yang menjadi cinta pertamanya itu.


Aku tahu, tak sepantasnya aku meninggikan egoku. Mungkin hubungan suami istriku dengan Mas Rayyan sudah berakhir, tapi hubungan Ayah dan Anak, takkan pernah berakhir. Seketika, kulunturkan semua egoku, kuraih handphone yang sejak tadi berada di atas bantal, lantas mencoba mencari satu nomor yang sempat aku arsipkan.

Lihat selengkapnya