Mas Rayyan menepati janjinya. Dia datang seorang diri dengan kemeja cokelat lengan pendek yang tak pernah kulihat dia memakainya.
Dia tampak sehat, bugar dan bahkan baik-baik saja. Apa yang aku lihat di dirinya, membuatku merasa semakin bodoh luar biasa, karena masih bersedih untuknya. Seharusnya anak-anak pun demikian, karena Appanya sendiri juga tidak terlalu peduli padanya.
Atas permintaan Arhan, Mas Rayyan pun mengemudikan mobilku seperti dulu. Awalnya Mas Rayyan meminta untuk memakai mobilnya, tapi Arhan menolak. Seolah ingin mengulang kisah lama, akhirnya Mas Rayyan pun mengabulkannya.
Seperti dulu, aku duduk di samping Mas Rayyan. Cuaca cukup mendung hari ini, mungkin sebentar lagi akan hujan. Jalan raya pun sedikit lebih lenggang. Tak ada kemacetan sama sekali padahal seharusnya di hari Senin ini, rutinitas orang-orang yang harus pergi bekerja dan sekolah, membuat jalanan macet total. Namun kali ini, tidak sama sekali.
"Kak, ini rotinya, makan dulu," ucapku sembari memberikan roti selai cokelat untuk Salsa. Salsa yang memang tidak ingin sarapan di rumah, memintaku membawakannya. Duduk di belakang bersama Arhan, membuatnya langsung bisa menerima pemberianku tanpa harus melompat ke depan, lebih tepatnya ke pangkuanku.
"Kakak belum sarapan?" tanya Mas Rayyan yang hanya dijawab gelengan kepala oleh Salsa. "Lain kali sarapan dulu sebelum berangkat sekolah, kan lebih enak sarapan di rumah dari pada harus di mobil."
"Iya," jawab Salsa singkat dengan nada suara terdengar enggan.
Aku menarik tatapan ke jendela, menghindari beradu pandang dengan Mas Rayyan. Entah seperti apa kini ekspresinya mendapati jawaban ketus dari anaknya sendiri. Seharusnya dia sadar, tapi kurasa tidak. Dia malah semakin merajut jarak semakin jauh dengan kedua buah hatinya.
"Roti apa itu, pasti enak!" seru Mas Rayyan lagi yang kuyakini sedang mencairkan suasana. Aku yang tak ingin egois, berpura-pura tersenyum, menoleh ke belakang melihat Salsa tampak asyik menyantap rotinya, sedangkan Arhan sendiri langsung menyambut dengan keisengannya menarik tangan Salsa, agar tidak bisa menyantap rotinya.
"Pasti pakai selai stroberi, wuih enaknya!" tambah Mas Rayyan yang membuatku menoleh heran ke arahnya. Salsa pun tampak menghentikan santapannya. Mas Rayyan melihat ke arahku dengan keheranan.
"Ada apa, kok pada diam?" tanya Mas Rayyan.
"Kok selai stroberi, Appa, kan Kak Salsa gak bisa makan selai stroberi!" celetuk Arhan yang tampak jelas membuat Mas Rayyan terlihat gugup.
"Eh, Appa salah ya?" balasnya yang membuatku tak henti melihatnya. "Yah, kok Adek sih yang jawab, padahal Appa berharapnya Kakak yang ngeralat."
Aku terdiam. Jawabannya membuat aku sadar bahwa Mas Rayyan berusaha menarik Salsa untuk mau berbicara dengannya. Aku melirik ke Salsa yang kembali menyantap rotinya sembari melihat ke luar jendela. Dia tampak cuek, berbeda dengan Arhan yang langsung bisa kembali akrab dengan sang ayah.
Akhirnya mobil memasuki parkiran sekolah. Salsa dsn Arhan yang masuk ke sekolah yang sama, langsung menuruni mobil dan mendekatiku yang sudah lebih dulu turun. Kugenggam tangan kedua anakku, berniat mengajaknya berjalan bersama masuk ke sekolah, namun malah urung saat tarikan tangan Arhan, terasa di tanganku.
"Appa mana?" tanya Arhan yang membuatku berbalik melihat ke Mas Arhan. Benar saja, Mas Rayyan tidak ada. Kubuka pintu mobil untuk memastikan Mas Rayyan ada di dalam ataubtidsk, yang ternyata jelas ada. Dengan santainya Mas Rayyan malah duduk memainkan handphonenya.
"Kamu gak turun?" tanyaku heran.
"Eh, harus?" tanyanya kaget, lantas langsung menyimpan handphone ke saku celana, dan turun dari mobil, melangkah mendekatiku dan anak-anak.
"Maaf, Appa pikir Amma doang yang anter ke dalam," jawabnya sembari tertawa kecil. Aku hanya menghela napas pelan, sedangkan Arhan yang berada di samping Mas Rayyan, langsung menggenggam tangannya.
"Nah, ayo antar Arhan masuk!" seru Arhan yang langsung disambut Mas Rayyan dengan semangat membara. Keduanya tampak berjalan meninggalkanku dan Salsa. Aku lega melihatnya, mendapati senyuman Arhan di hari pertamanya sekolah. Kulirik Salsa yang masih berdiri di sampingku sembari menggenggam tanganku.
"Kita masuk, Kak?" Salsa hanya mengangguk lantas melangkah bersamaku.
***
"Salsa masih marah samaku ya?" tanya Mas Rayyan saat aku dan dia duduk di kantin. Sembari menunggu Arhan dan Salsa pulang sekolah, kami putuskan untuk menikmati makanan di kantin yang kali ini, aku hanya memesan dua mangkuk mie ayam.
"Mungkin," jawabku sembari menuangkan sedikit saus dari botol dan juga sambal. "Seharusnya kamu luangkan waktu buat mereka. Bukan malah menghilang pasca perceraian." Kutatap wajahnya yang kini duduk di hadapanku. Aku sengaja duduk tidak di sampingnya, karena kini statusku dsn dia sudah berbeda. Aku tidak ingin menjadi bahan gosip para wali murid yang pasti datang di hari pertama ajaran baru ini.