Aku menemukan mereka. Semula aku berpikir, Salsa dan Mas Rayyan akan duduk di mobil, namun ternyata Salsa malah berlari ke belakang sekolah dan duduk di lapangan sepak bola sembari menangis. Mas Rayyan tampak duduk dengan jarak sejengkal dari sang anak. Aku memutuskan untuk berdiri jauh di belakang keduanya, mendengar apa yang kini akan mereka bicarakan satu sama lain, dari hati ke hati.
Salsa masih menangis, suara isakan tangisnya membuat dadaku sesak. Emosinya yang semula hanya dari nada suaranya yang menunggu, kini sudah menjalar ke adegan fisik. Inilah yang ditakutkan. Dia tumbuh menjadi anak yang kasar dan ringan tangan, pada orang-orang di sekelilingnya.
"Kakak masih marah sama Appa?" Terdengar suara Mas Rayyan memulai pembicaraan. Sayangnya, tak terdengar suara balasan dari Salsa sekedar menjawab pertanyaannya.
"Appa tau, semua ini salah Appa," lanjut Mas Rayyan setelah beberapa menit berlalu. "Appa minta maaf, seharusnya Appa gak ninggalin Kakak dan Adek setahun yang lain."
"Appa juga ninggalin Amma!" seru Salsa yang membuatku terharu. "Amma sedih nyariin Appa. Amma sering nangis sendirian, malam-malam, kadang Amma nangis di kamar mandi."
Aku menundukkan kepala. Air mataku ingin kembali meluncur saat itu juga. Sejak awal aku menyadari, caraku menyembunyikan kesedihan pasti sudah diketahui Salsa. Anak tercantikku itu sering memergokiku saat menangis. Entah itu di malam hari, atau saat berada di kamar mandi.
Mungkin banyak orang yang mengira, aku terlalu menyedihkan. Masih saja bersedih dengan luka seolah tak bisa bangkit, padahal sang pelaku sudah merajut kebahagiaannya kembali.
Sejujurnya, aku bukan gagal bangkit, aku bukan masih meratapi sedih, tapi aku tak bisa membohongi kalau saat ingatan itu kembali, luka itu pun ikut menguak ke permukaan.
Sampai detik ini pun, aku masih belum percaya bahwa kini, aku menjadi tokoh utama dalam kisah yang paling tidak pernah aku inginkan terjadi dalam hidupku.
"Amma sesedih itu?" tanya Mas Rayyan.
"Ya, karena Amma sangat mencintai Appa, tapi Appa malah mencintai Tante itu." Salsa menghadapkan tubuhnya ke Mas Rayyan. "Apa benar kata teman-teman Kakak, kalau Appa udah gak cinta sama Amma? Appa gak pernah cinta sama Amma?"
Aku bisa melihatnya, tangan kanan Mas Rayyan mengusap kepala Salsa. Dia masih sangat menyayanginya. Putri kecil yang selalu dia agungkan namanya ke mana pun dia melangkah dulu. Namun sayang sekarang tak lagi terdengar.
"Jawab Appa," pinta Salsa.
"Appa sayang kok sama Amma, sayang banget," jawab Mas Rayyan.
"Apa cinta kan?"
"Apa bedanya, Kak?"
"Beda, kan dulu Appa sendiri yang bilang, kalau cinta itu untuk satu orang, sayang untuk semua orang. Dan Appa pernah bilang, kalau cintanya Appa cuma buat Amma."