"Appa kok beda ya, Amma?" tanya Salsa saat aku baru saja selesai mengganti pakaian tidur untuk Arhan.
Kupandangi anak Perempuanku itu yang sudah duduk di atas tempat tidur. Hampir seharian keduanya menghabiskan waktu bersama Mas Rayyan, hingga akhirnya baru kembali ke rumah saat malam tiba, tepatnya sehabis makan malam di luar bersama sang Appa.
Aku naik ke atas tempat tidur, membantu Arhan ikut naik dan duduk berhadapan dengan keduanya, memposisikan diri seperti biasa untuk mendengarkan cerita hari ini dadi Arhan mau Salsa. Metode itu selalu aku lakukan agar bisa membuat keduanya nyaman berada di dekatku, bukan hanya sebagai Ibu, tapi juga sebagai sahabat.
"Beda gimana, Kak?" tanyaku sembari menyisir rambut Salsa.
"Waktu kami makan tadi, Appa malah makan makanan penutup, Amma, kue cokelat, padahal Appa kan gak suka dessert."
Aku terdiam. Ingatanku tertarik ke kejadian waktu masalah kecap di kantin sekolah. Aku mencoba menepisnya, lantas kembali tersenyum melihat Salsa yang menanti kalimatku.
"Mungkin Appa lagi pengen dessert kali," jawabku santai.
"Tapi kenapa Appa malah gak suka sayur?" sambung Arhan yang membuatku kembali terdiam.
"Iya, padahal dulu Appa nyuruh kita makan sayur, Appa malah marah sama Kakak kalau gak makan sayur," tambah Salsa. "Appa juga bersin-bersin waktu ada asap kendaraan, Amma."
Semua berbeda. Semakin kedua anakku membeberkan semuanya, semakin aku merasa asing pada Mas Rayyan. Secepat itukah dia berubah hanya demi Ayudia. Apa benar dia secinta itu hingga mampu mengubah dirinya menjadi sosok lain.
Yang aku tahu, Mas Rayyan tidak punya alergi apa pun, tidak suka makanan penutup, dan tidak suka kecap. Namun beberapa kejadian malah membuatku merasa, Mas Rayyan banyak berubah. Rasanya pengaruh Ayudia begitu besar di hidupnya.
"Oh iya, mungkin Appa lagi flu, jadi bersin-bersin," jawabku berusaha bersikap santai. "Gimana taxi, asyik main sama Appa?"
"Asyik!" seru Arhan. "Adek sama Kakak main di pusat permainan, Adek malah naik motor-motoran sama Appa. Akak sih gak mau, kalau Kak Salsa mau, pasti kalah sama Adek."
"Yeee, Adek tetap kalah sama Kakak!"
"Mana ada!"
Aku tertawa mendengar perdebatan itu. Keduanya kembali seperti dulu, sang adik yang jahil, dan sang kakak yang tidak suka dijahili.
Di luar dari perubahan Mas Rayyan, aku merasa hadirnya Mas Rayyan mampu mengembalikan senyuman kedua buah hatiku. Salsa yang yang memendam kesedihan, Arhan yang selalu menangis merindukan sang Ayah, kini malah saling bertukar canda satu sama lain.
"Amma," panggil Arhan membuyarkan lamunanku. "Apa Appa gak bisa tidur di sini lagi?"
Aku terdiam. Pertanyaan Arhan membuatku bingung harus memberikan jawaban apa. Arhan yang masih terlalu kecil, belum sepaham Salsa yang sudah mengerti bahwa kedua orang tuanya kini sudah berpisah.
"Kan udah Kakak bilang, Amma sama Appa sudah berpisah, gak boleh di sini lagi sama-sama kayak dulu." Salsa mencoba memberikan penjelasan yang membuatku cukup terbantu.
"Tapi kan, Appa masih Appanya Adek. Biar pun Kakak bilang Appa bukan suami Amma lagi, tapi tetap masih Appanya Adek sama Kakak." Arhan memulai perdebatan. "Jadi Appa boleh ke sini."
"Adek kenapa gak ngerti-ngerti sih, Appa sama Amma itu ...."
"Kakak," panggilku yang membuat Salsa menoleh. Aku menggeleng pelan, Salsa menutup rapat mulutnya. Kupandangi kembali Arhan, kuangkat tubuhnya ke pangkuanku, lantas memeluknya dari belakang.