Aku kesepian, itulah yang kini aku rasakan. Salsa dsn Arhan yang malam ini memutuskan menginap di rumah Ibunya Mas Rayyan, membuatku merasa sunyi di kamar.
Seperti biasa, aku menghabiskan malam dengan duduk di balkon, dengan ditemani segelas susu cokelat buatan Bik Minah.
Pikiranku melayang ke masa di mana kebahagiaan masih bersamaku. Tawa, canda dan cerita-cerita menarik selalu menemaniku bersama orang-orang yang aku sayangi dk tempat yang sama, yang kini menjadi saksi bisu akan kesunyian yang menyelimutiku.
"Andai kita dilahirkan kembali, kamu ingin jadi apa, Zhee?" Pertanyaan Mas Rayyan malam itu, kembali terngiang di telinga.
"Apa ya, mungkin jadi dokter, atau jadi artis," candaku yang berhasil membuatnya tertawa.
Anak-anak yang kala itu sudah tidur, membuatku dsn Mas Rayyan bisa bertukar pikiran tentang banyak hal. Mas Rayyan memang suka mengobrol sebelum tidur. Baginya waktu bersamaku, bisa menyembuhkan rasa lelahnya akibat seharian bekerja.
"Mas serius, Sayang, masa malah dibalas becanda," ucapnya sedikit merajuk.
"Maaf, kalau Mas sendiri mau jadi apa?" tanyaku ingin tahu. Aku sendiri sejujurnya tidak tahu ingin menjadi apa jika hal itu terjadi padaku. Aku bahkan tidak pernah berpikir sampai ke sana.
"Kalau Mas ... ingin kembali jadi suami kamu dsn ayahnya anak-anak," jawabnya yang berhasil membuatku terharu. Namun tak ingin membuat suasana menjadi sendu, aku malah memukulnya pelan.
"Bisa ae, Maskuuu," ledekku yang membuatnya ikut tertawa. "Emangnya semenarik apa sih jadi seperti sekarang, bukannya capek dengerin aku dan anak-anak minta ini itu mulu?"
"Itu yang aku suka," jawabnya. "Dengerin kamu yang ngomel saat Mas telat bangun dan pulang terlambat, dengerin tuntutan demi tuntutan dari Salsa, dengerin cerita Arhan. Dan pertengkaran keduanya. Mas suka semuanya."
Terlihat ketulusan di kedua matanya. Aku ikut terhanyut dalam suasana sendu yang kembali diciptakan Mas Rayyan kala itu.
"Mas sering gak betah kalau di kantor, bawaannya mau pulang terus, dan kalau di rumah rasanya malas banget mau ke kantor, pengennya sama kalian terus," ucapnya lagi. "Mas sering sedih ngebayangin nantinya anak-anak kita mulai tumbuh dewasa, punya dunia sendiri-sendiri, dan gak lagi menggantungkan hidupnya sama kita. Rasanya Mas belum siap untuk sampai ke momen itu."
Aku mengusap punggungnya, mencoba menenangkan. Aku pernah dengar, sesakit-sakitnya hati seorang ibu melepas anak-anaknya tumbuh dewasa dengan dunia masing-masing, akan lebih sakit seorang ayah. Dan aku kini bisa melihat hal itu dari Mas Rayyan.
"Tapi kita harus melewatinya, Mas, sama halnya seperti Ibu yang harus melihatmu dan Raya menikah, kamu juga harus melakukannya."
"Aku tau, tapi kalau di tanya sekarang, jujur aku belum siap," jawabnya lagi. "Salsa begitu manja denganku, menganggap Mas cinta pertamanya hingga sering Mas dengar darinya, kalau dia tidak mau menikah."
Aku tertawa. "Itu sudah jadi ucapan wajib anak perempuan saat masih kecil, Mas."
"Iya, dan bagi Mas, Salsa tetap akan jadi gadis kecil Mas sampai kapan pun. Tak ada yang boleh menyakitinya. Jika ada, lewati saja dulu mayat Mas."
Suara handphoneku berdering, membuat ke gan tentang percakapan hangat itu buyar seketika. Kulirik sebuah nama yang aku kenal di layar. Sudah cukup lama sang penelepon tidak menghubungiku. Terakhir saat aku bertanya tentang keberadaan Mas Rayyan saat hilang dulu.
"Assalamualaikum," salamku setelah menekan tombol penjawab telepon.
"Walaikumsalam, apa kabar, Zhee?"
"Alhamdulillah baik, Mas," jawabku. "Tumben nelepon malam-malam, ada apa, Mas?"
Hening. Tidak ada jawaban dari Fahri, sahabat Mas Rayyan yang sudah dianggapnya seperti abangnya sendiri. Diamnya Fahri, membuatku mampu membaca situasi, bahwa kini pria tampan dengan pekerjaan mapan sebagai arsitek itu, sedang tidak baik-baik saja.
"Mas?"
"Apa benar kamu sudah bercerai dengan Rayyan, Zhee?"