Dia di depanku. Duduk dengan kepala menunduk, tanpa sepatah kata pun. Awalnya dia ingin datang ke rumah, namun dengan tegas aku menolaknya. Aku tidak ingin terjadi keributan di rumah jika akhirnya ada perdebatan kecil yang tiba-tiba terjadi. Di sisi lain, Ayudia yang sudah pernah hadir di bakery, membuatku lebih leluasa mengajaknya bertemu di tempat yang sama.
Dia tertunduk. Sudah lima belas menit berlalu semenjak dia hadir di ruangan pribadiku. Ya, aku mengajaknya masuk ke ruanganku, agar para karyawan bakery, tidak mendengar pembicaraan kami.
"Ada yang mau kamu bicarakan, Mbak?" tanyaku mulai jengah melihatnya hanya diam.
Dia mengangkat kepalanya, menatapku dengan ekspresi sendu. Ada rasa iba hadir di hatiku saat melihatnya. Namun rasa iba itu lenyap seketika, saat mengingat dialah yang merebut Mas Rayyan dariku.
"Bisakah jangan meminta suamiku untuk terus membagi waktu dengan kamu, Mbak?"
Permintaannya membuatku kaget bukan main. Aku tidak menyangka, dia akan meminta hal itu padaku. Seharusnya dia malah tidak mempermasalahkannya mengingat Mas Rayyan memiliki anak dari pernikahan sebelumnya yang masih membutuhkan sosoknya.
Seharusnya, dia bisa memahami dan mengerti hal itu. Bukankah itu konsekuensi untuknya yang sudah merebut milik orang lain? Namun kini, dia malah bersikap egois.
"Maaf, Mbak, saya gak pernah meminta suami kamu untuk terus bersama saya, saya hanya minta dia untuk menyisihkan waktunya buat anak-anak, itu saja."
"Itu sama saja, Mbak, saat dia bersama anak-anak, dia juga pasti bersama kamu kan, Mbak?"
"Tapi akhir-akhir ini, mereka lebih sering bersama tanpa saya, Mbak," jawabku. "Lagipula kata Mas Rayyan, Mbak sudah mengizinkan? Jadi seharusnya gak ada masalah kan?"
"Ya, awalnya aku memang mengizinkan, tapi tidak sesering ini, Mbak," jawabnya yang membuatku menghela napas kesal. "Mbak lihat sendiri kan, saat ini aku sedang hamil, Mbak, dan aku butuh waktu lebih banyak dengan dia dari pada kalian."
Nada suaranya bergetar. Tak ada emosi di nada suaranya, dia hanya ingin menangis, itu saja. Anehnya aku malah merasa dia berhasil memancing emosiku.
Aku menarik napas dalam-dalam, lantas menghembuskannya perlahan. Mencoba tetap tenang agar tidak timbul masalah. Aku ingin terus berbicara dengannya, mencoba mengorek semua informasi agar bisa menyelesaikan kegelisahan di keluarga Mas Rayyan tentang semua perubahannya.
"Maaf kalau anak-anak membuat kamu merasa gak punya waktu dengan suami kamu, tapi rasanya itu wajar, karena sudah setahun mereka gak bisa bermain dengan Appanya."