Dengan kekuatan yang tersisa, aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku. Semua orang menatapku kaget, beberapa karyawan malah langsung mendekatiku dengan pertanyaan demi pertanyaan khawatir mereka.
"Mbak, kenapa?"
"Pelan-pelan, Mbak."
"Mbak Zhee!"
Terang saja semua orang khawatir, aku ke luar dari ruang kerja dengan banjiran air mata di kedua pipi. Percakapan antara aku dan Ayudia sempat membuatku hancur sehancur-hancurnya. Hampir setengah jam aku menangis sendirian di ruangan, meratapi semuanya yang masih belum bisa aku terima.
Mas Rayyan sudah meninggal setahun lalu. Pernyataan itu terus terngiang di telingaku. Terus menerus hingga membuat kepalaku sakit bukan main. Namun keinginanku untuk melihat langsung tempat peristirahatan terakhirnya, memaksa kekuatanku yang sempat lenyap, kembali mencuat ke permukaan.
Dengan dibantu Mila dan pegawai lainnya, aku menuruni tangga. Pikiranku tertuju ke Mas Rayyan, suaraku lirih memanggil namanya. Perlahan aku menolak tubuh Mila saat kedua kakiku berhasil menginjak lantai dasar, melangkah menuju pintu berniat menghampiri mobilku yang terparkir di luar. Namun tiba-tiba, aku menabrak seseorang yang baru saja masuk ke dalam bakery.
"Kamu kenapa, Zhee?"
Aku menatapnya. Fahri, dialah orangnya. Aku menangis sejadi-jadinya, kembali memanggil nama Mas Rayyan yang aku yakini, pasti membuatnya bingung.
"Rayyan kenapa?" tanya Fahri lagi.
"Dia ... dia ...."
"Zhee kenapa?" tanya Fahri yang membuatku hilang kesabaran. Aku tolak tubuhnya pelan hingga membuatnya mundur beberapa langkah.
"Minggir, Mas, aku mau melihatnya."
"Oke, tapi aku yang akan antar kamu ke sana, ya?"
Aku hanya mengangguk. Bersamanya, aku melangkah ke luar menuju mobil Fahri. Masuk ke dalam Denga dibantunya, dan kembali menangis sepanjang perjalanan.
***
Aku menatapnya pilu. Gersang, tak ada bunga di atasnya sekedar menghiasi tempat sang pemilik berisitirahat. Di belakangku, ada Fahri dengan penjaga makam yang dimaksud Ayudia. Terdengar dia berbicara dengan Fahri. Sedangkan aku hanya bisa menangis di samping pusara yang katanya milik Mas Rayyan.
"Almarhum meninggal setahunan lalu, Pak, kecelakaan. Dia ditabrak orang saat mau menyebrang ke mobilnya."
Jawaban dari petugas makam, membuatku menjatuhkan tubuh di samping pusara dengan batu nisan bertuliskan Muhammad Rayyan. Kuremas tanah kuburan yang kering, seakan menunjukkan tak ada yang datang berkunjung. Aku hanya bisa menangis meratapi semuanya.