"Kamu akhirnya menemukanku."
Aku mendengarnya. Bahkan bukan hanya mendengarnya, melainkan kini aku bisa melihatnya berdiri di hadapanku.
Dia tampan, bahkan lebih tampan, memakai pakaian serba putih dengan wajah menenangkan. Senyuman sama, walau sempat terkecoh, namun kini aku mengenalnya.
Dia menggenggam kedua tanganku, membuatku menatapnya dengan kedua mata berembun. Entah di mana aku saat ini. Semua indah, taman bunga dengan dipadukan warna biru langit yang cerah tapi tidak menyilaukan.
"Aku sudah lama menunggumu sadar akan keberadaan ku, Zhee."
Air mataku menetes. Ada perasaan bersalah karena sudah tidak mengenalinya. Aku malah mempercayai seseorang, yang hanya sama wajah, namun beda orang.
"Maaf," ucapku. Hanya itu yang mampu kukatakan. Sesak rasanya dada ini melihatnya berdiri di hadapanku.
"Aku memaafkanmu, aku yang salah karena pergi tanpa izin, maaf ya?"
Aku hanya mengangguk, memeluknya, merasakan aroma tubuhnya yang masih mencuatkan aroma yang sama. Seketika kerinduanku pecah seketika. Aku sudah menemukan obatnya, dan obatnya ternyata Mas Rayyan.
"Jangan dendam, maafkan saja mereka," ucap Mas Rayyan yang sempat ditolak hatiku. Aku melepaskan pelukan, menatapnya tak senang yang malah terus menatapku teduh.
"Kamu marah?" tanyanya yang langsung kujawab dengan anggukan kepala. "Dia tidak sebagai, aku yang lari tanpa melihat. Lagi pula, dia sudah bersikap sangat baik ke kamu dan anak-anak."
"Tapi mereka membohongi kami, bahkan membuatku sampai menceraikan kamu."
"Kita beneran sudah cerai, Zhee, cerai mati."
Aku terdiam. Ucapannya tak bisa kuterima sama sekali. Aku merasa tidak ikhlas melepasnya pergi ke dunia lain. Aku sangat mencintainya, dan aku belum siap melepaskannya.
"Allah lebih mencintaiku, Zhee," ucapnya seolah mendengar perdebatan di hatiku. "Tolong, lepaskan aku, jagalah anak-anak untukku. Dan ... menikahlah kembali, Zhee."
"Aku gak ingin menikah lagi, Mas, aku gak mau." Aku semakin hanyut dalam tangis. Dengan sentuhan lembut, dia menghapus air mataku, mendaratkan kecupan kasih sayang di puncak kepalaku, lantas memelukku hangat. Seolah pelukan itu adalah pelukan terakhir darinya.
"Menikahlah dengan pria yang saat ini ada di dekatmu, Zhee. Pria yang sangat kita percaya. Dia akan menjaga kamu dan anak-anak dengan penuh kasih sayang."
"Jangan minta itu, Mas."
"Aku harus pergi, bangunlah, anak-anak menanti kamu."
Dia melepaskan pelukan.
"Aku ikut."