Aku melambaikan tangan ke sebuah mini bus kecil yang membawa anak-anak panti asuhan. Acara kecil-kecilan di rumah tepat di hari ulang tahun Mas Rayyan, membuatku harus hadir di rumah Ibu bersama anak-anak.
Bersama Ibu, aku melangkah masuk. Duduk di atas tikar tempat sebelumnya acara diadakan, lantas melihat situasi. Terlihat Salsa dan Arhan asyik bermain bersama Dennis dan Aldo. Aku lega melihatnya, keduanya kini sudah bisa menerima kenyataan bahwa Mas Rayyan, takkan pernah kembali.
"Assalamualaikum," salam seseorang yang membuat kami semua serentak menoleh ke pintu.
"Om Fahri!!!" seru Salsa dan Arhan yang langsung berlarian menyerbu Fahri. Keduanya memeluknya erat, seolah seperti ayahnya sendiri.
"Bentar-bentar, Om salam Nenek dulu ya?" ucapnya lantas melewati kedua anakku dan menghampiri Ibu.
Dengan sikap sopan, dia duduk di hadapan Ibu, mencium tangan wanita itu lantas mengumbar senyuman.
"Kapan balik?" tanyaku.
"Baru saja, tadi naik pesawat pagi. Kirain masih sempat, ternyata udah pada bubar," ucapnya sembari tertawa cengengesan. "Maaf ya, Bu."
"Gak apa-apa, jadi bakalan balik lagi ke Bali?"
"Gak, Bu, sudah resmi pindah ke kantor di sini, kemarin cuma ambil barang aja yang masih tertinggal." Fahri menjawab dengan nada sopan, yang membuatku teringat ke Mas Rayyan. "Saya izin ke anak-anak lagi ya, Bu."
"Iya."
Fahri berlalu pergi mendekati Salsa dan Arhan. Tak lupa dia minta izin ke Aldo untuk membawa serta Dennis. Tampak Fahri mengajaknya mendekati Salsa dan Arhan yang sudah menantinya di teras untuk bermain.
Aku tersenyum, pemandangan itu jelas membuatku rindu akan Mas Rayyan. Sudah tujuh bulan berlalu, dan rasanya aku mulai rindu.
"Dia baik, Zhee," ucap Ibu tiba-tiba saat Raya baru saja duduk di dekatku dan Ibu. Aldo sendiri tampak ke luar menyusul anak-anak.
"Kenapa gak nikah aja sih, Mbak, kan Mbak sendiri yang bilang tentang mimpi itu, kalau Mas Rayyan minta Mbak Zhee buat menikah lagi." Raya menambahkan yang membuatku terdiam. "Raya yakin, maksud Mas Rayyan itu ya Mas Fahri."
Aku menarik napas dalam-dalam, lantas menghembuskannya perlahan. Ibu mengusap tanganku penuh kasih sayang.
"Apa yang membuat kamu berat melakukannya, Nak?" tanya Ibu.
"Cinta, Bu," jawabku. "Zheeya belum cinta sama Mas Fahri. Aneh rasanya menikah dengan orang yang selama ini Zheeya anggap sebagai Abang sendiri. Zhee juga ngerasa kalau Zhee menikah lagi, rasanya kayak Zhee udah mengkhianati Mas Rayyan, Bu."
"Kamu gak mengkhianati kok, kamu hanya melanjutkan hidup. Ini juga atas permintaan Rayyan kan?"
"Zhee tau, Bu, tapi Zhee takut kalau Mas Fahri malah jadi pelampiasan kesepian Zhee atas kehilangan Mas Rayyan."
"Tapi Mas Fahri bilang gak masalah kan, Mbak?"
Aku kembali terdiam. Fahri memang pernah mengatakan hal itu. Dia bahkan sempat mengajukan diri menjadi pengganti Mas Rayyan di hidupku beberapa bulan lalu. Namun aku menolaknya dengan alasan, aku belum siap. Dan dia malah bersedia menunggu.
"Pikirkan baik-baik, Nak."
"Zhee lagi nunggu Mas Rayyan datang lagi, Bu, buat ngasih keputusan lagi."