“Aku mengaku salah karena sudah merobek PR adikku-Roni, tapi aku begitu karena dia yang memulai, dia mengejekku. Dan mereka memintaku memakluminya, sementara hatiku tak ada siapa yang peduli.”
Seharusnya pagi hari menjadi menyenangkan karena udara masih begitu segar, tapi tidak bagiku. Meski namaku Mentari, tapi aku tidak suka suasana saat mentari pagi mulai menyinari bumi.
“Tariii!” Seruannya membuat energi di pagi hari mulai menurun.
“Mentari, kenapa Ayahmu pagi-pagi berteriak memanggilmu?” Pertanyaan dari seorang yang paling kusayangi di dunia ini membuatku menoleh ke arahnya.
“Mungkin aku mau dihukum lagi sama Ayah, Nek.” jawabku setelah selesai mengikat rambut.
“MENTARI.” Panggilan Ayah semakin meninggi.
“Iya, Ayah,” Aku harus cepat menghampiri Ayah sebelum dia semakin murka.
Aku berjalan terpincang-pincang keluar kamar menuju ruang tamu.
Di sana sudah ada Ayah, Roni, dan Aldi. Kedua adikku itu sudah rapi dengan seragam sekolah sama sepertiku. Tatapan Ayah seperti hendak menerkamku.
Ayah memegang sebuah buku tulis bersampul coklat. Aku kenal sekali buku siapa itu. Dibukanya buku itu dengan kasar. Lalu, diperlihatkannya kepadaku bagian tersobek tak ada halamannya lagi.
“Kenapa kamu robek tugasnya Roni?” tanya Ayah dengan nada marah.
“Roni yang memulai, Yah. Dia mengejekku” jawabku jujur. Pandanganku beralih ke Roni. Dia malah memalingkan mukanya.
“Alah, kamu baru diejek begitu saja sama adikmu sudah seperti itu,” Suara Ayah selalu membuat pendengaranku terasa seperti berdengung.
“Tapi aku enggak suka diejek olehnya. Lagi pula tugas PR itu aku yang mengerjakannya bukan dia. Jadi, aku berhak merobeknya lagi. Biar Roni berusaha sendiri dengan tugasnya,” Aku mencoba menjelaskan kenapa aku merobek buku adikku itu.
“Oh, sudah hebat kamu sekarang, ya. Mentang-mentang kamu yang mengerjakan PR Roni, seenaknya kamu merobek lagi tugasnya.”
“Tapi, Yah...” Belum sempat selesai aku berbicara, Ayah memotong ucapanku.
“Tidak ada tapi-tapian, kamu harus diberi hukuman biar kamu tidak seenaknya saja dengan adikmu. Seharusnya kamu memakluminya saja.”
“Letakkan tangan di atas meja. Cepat,” titah Ayah.
Aku pun meletakan tangan di meja. Membuka telapak tanganku. Sebuah rotan siap melibas telapak tanganku.
Sekali, dua kali. Rotan itu menyentuh telapak tanganku.
“Ayah, kasihan Kak Mentari,” ucap Aldi-adikku yang kelas lima SD. Mungkin dia merasa kasihan denganku. Namun, sama sekali tak ada jawaban dari Ayah.
Perih. Aku hanya bisa mengatakanya di dalam hati. Meringis kesakitan. Ibu saja seperti tak peduli.
“Kenapa setiap pagi selalu berisik seperti ini?” Nenek menyelamatiku dari libasan selanjutnya.
Nenek berjalan tertatih-tatih ke arahku. Di peluknya aku.
“Mansur, kenapa kamu begitu keras dengan Mentari?” sungut Nenek.
“Biar dia tidak seenaknya dengan adiknya,” jawab Ayah.
“Dia juga anakmu sama seperti Roni dan Aldi. Jangan kamu terlalu kasar begitu dengan Mentari.” Entah sudah berapa kali Nenek berkata seperti itu.
“Alah.” Ayah pun pergi meninggalkanku dan Nenek di ruang tamu.
Aku masih dalam pelukan Nenek. Masih kulihat Roni, tapi dia tak berani membalas tatapanku. Ibu menghampiriku.