Tuhan, Peluk Aku

Shafura
Chapter #2

Bab 2

“Aku terlalu percaya diri kalau Ibu menyiapkan masakan lezat itu untukku. Aku pikir Ibu membuatnya karena merasa kasihan kepadaku karena pagi tadi kena pukul rotan oleh Ayah. Seharusnya aku lebih sadar diri.”

Aku terbangun saat mendengar orang mengaji. Rupanya itu suara Nenek. Nenekku setiap selesai salat selalu mengaji.

Aku duduk menyandarkan punggung di dinding. Suasana hatiku sudah lebih membaik setelah bangun tidur. Lebih baik di kamar saja bersama Nenek daripada harus keluar.

“Sudah bangun rupanya cucu Nenek yang cantik,” ucap Nenek setelah selesai mengaji, kemudian mencium Al-Qur’annya. 

Aku tersenyum melihat Nenek. Meski wajahnya sudah keriput karena termakan usia, tapi wajahnya memancarkan cahaya yang membuatku tidak pernah bosan menatap wajahnya. Apalagi setelah salat seperti ini. Wajah Nenek memancarkan sinarnya.

“Ikut Nenek ke pasar, yuk,” ajak Nenek. Dilipatnya mukena dan sajadah. Kemudian diletakkan begitu rapi di dalam lemari.

“Ngapain ke pasar, Nek?” tanyaku basa-basi, padahal sudah tahu kalau ke pasar ya pasti berbelanja.

“Mau menanam padi ,” celetuk Nenek. Aku menyengir mendengar jawaban Nenek. 

“Mau ikut tidak?” tanya Nenek kembali memastikan.

“Mau,” jawabku begitu semangat.

“Tapi sebelumnya kamu ganti baju dulu. Masa iya ke pasar pakai seragam sekolah. Bisa-bisa kena razia satpol PP. Ntar dikira Nenek nyulik kamu dari sekolahan.” Nenek berhasil membuat aku tertawa dengan guyonannya.

Setelah itu, aku segera bersiap-siap mengganti seragam dengan baju lain. Sementara itu Nenek sudah keluar kamar duluan. Mungkin Nenek mau bilang sama Ibu untuk membawaku ke pasar.

“Mentari, sudah siap kamu ganti bajunya?” Suara Nenek dari luar. Aku bergegas keluar kamar.

“Emangnya Nenek sanggup berjalan ke pasar?” tanyaku sedikit khawatir karena Nenek terlihat seperti kesulitan untuk berjalan.

“Kita dari sini ke pasar tidak jalan kaki, lho, Mentari Sayang. Kita naik becak,” jawab Nenek.

Lagi-lagi jawaban dari Nenek berhasil membuatku nyengir. Kadang aku malu sama Nenek. Aku yang masih berusia lima belas tahun sering mengeluh kalau banyak berjalan, sedangkan Nenek meski jalannya begitu lambat, tidak pernah sekalipun aku mendengar Nenek mengeluh. Padahal cara berjalan kami hampir sama. Nenek berjalannya tertatih-tatih, sedangkan aku terpincang-pincang.

“Nila, Ibu pergi sama Mentari ke pasar, ya.”

“Iya, Bu. Hati-hati,” sahut Ibu dari dapur.

Kami berjalan sedikit ke jalan besar. Syukur rumahku tidak terlalu masuk ke dalam. Belum semenit kami menunggu. Sudah ada becak motor yang menawarkan jasanya. Tidak perlu lama-lama bernegosiasi tentang ongkos. Kami sudah berada di dalam becak motor.

Nenek memang sering mengajakku ke pasar. Bisanya kami pergi di hari Minggu. Apalagi, setiap awal bulan setelah ambil uang pensiunan di bank. Keesokan harinya pasti mengajakku ke pasar. Ya, Nenekku seorang istri pensiunan PNS. Ibuku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Kedua abang dan kakak Ibu ada di luar negeri. Mereka bekerja dan berkeluarga di sana. Aku pun tidak ingat lagi kapan terakhir kali bertemu Pakde dan Bukde. 

Syukurlah Nenek tinggal bersama Ibu. Dulu, ketika masih ada Kakek. Kakek juga sangat menyayangiku. Seharusnya aku tinggal berdua saja sama Nenek di rumahnya, tapi ayah tidak mengizinkannya. Kalau tinggal bersama Nenek pasti aku tidak dimarah-marah sama Ayah dan Ibu.

Kami sudah sampai di pasar. Aku memegang erat tangan Nenek yang turun dari becak motor. Setelah aku turun, Nenek membayar ongkosnya.

Wah, aku suka sekali suasana pasar. Ramai dan banyak penjual makanan. Sayur mayur berwarna-warni tertumpuk rapi. Ibu-ibu menawar harga. Banyak sekali jenis ikan yang berjejer rapi seperti upacara. Suara mesin kukur kelapa dan mesin giling bumbu menjadi irama khas di pasar. 

Nenek mengajakku ke bagian ayam potong. Selama ke pasar biasanya aku tidak diajak ke bagian sini. Ibu yang selalu membelikan ayamnya untuk di masak. Nenek mengajakku ke pasar untuk makan bakso dan minum es cendol langganan Nenek.

“Nek, kenapa bukan Ibu yang beli ayamnya? Biasanya Ibu yang belanja. Kan kita mau makan bakso dan minum es cendol,” tanyaku pada Nenek yang sedang memilih-milih ayam yang sudah tergeletak.

Lihat selengkapnya