“Teman sekelasku satu pun tidak ada yang mengejekku, meski aku tidak sempurna seperti mereka. Aku lebih nyaman berada di sekolah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pelindung bagiku, malah menjadi tempat pemberian luka untukku”
Selesai salat Isya aku dan Nenek duduk di teras rumah. Kami duduk lesehan beralaskan tikar bambu. Angin malam berembus lembut menyapu wajahku. Suasana malam menjadi lebih meriah karena ditemani suara nyanyian jangkrik. Sinar bulan malam ini begitu terang. Rupanya bulannya bulat sempurna.
Ayah dan Ibu sedang menonton tv saat ku melewati ruang tv menuju teras bersama Nenek. Aldi dan Roni mungkin di kamar sedang mengerjakan PR. Malas aku menawarkan lagi bantuan buat PR Roni. Bukanya berterima kasih, malah mengejekku. Kalau Aldi bisa menyelesaikan PR sendiri, kecuali kalau soalnya begitu sulit, baru dia meminta bantuanku.
Kulihat Nenek sedang mengurut kakinya.
“Kaki Nenek sakit? Apa karena kita berbelanja di pasar siang tadi?” Aku khawatir sekali kalau Nenek kenapa-kenapa.
“Cuma pegal-pegal sedikit. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang,” ucap Nenek.
“Sini Mentari urut kakinya Nenek,” tawarku. Aku langsung mengurut kaki Nenek.
“Mentari cucu Nenek tersayang. Nenek sayang sekali sama kamu,” kata Nenek sambil mengusap kepalaku.
“Mentari juga sayaaaaaaaanggg sekali sama Nenek.” Aku dan Nenek tertawa bersama.
Beberapa menit kami dalam keheningan. Nenek terus menatapku tanpa sedikit pun menoleh, meski aku kembali menatapnya.
“Kenapa Nenek lihat Mentari seperti itu?” tanyaku.
“Tidak kenapa-kenapa. Nenek hanya ingin melihat cucu Nenek yang manis ini saja.” Perkataan Nenek membuatku tersipu malu.
Aku terus mengurut kaki Nenek. Aku takut nanti Nenek tidak bisa berjalan lagi.
“Tar, bagi duit lima ribu, donk. Aku mau pergi sama teman-temanku,” celetuk Roni yang tiba-tiba muncul merusak kedamaianku bersama Nenek.
“Kalau enggak ada uang, ya, di rumah saja. Enggak usah ke mana-mana,” ketusku. Aku masih sangat kesal dengannya.
“Memangnya kamu mau ke mana malam-malam begini, Ron?” tanya Nenek.
Aku sedikit pun tidak melihat ke arahnya. Muak kulihat wajahnya.
“Kamu pelit banget jadi orang,” sungutnya.
“Roni, jangan begitu sama Kakakmu. Kamu belum jawab pertanyaan Nenek. Kamu mau ke mana malam-malam begini?”
“Aku mau nongkrong sama temanku, Nek. Bosan di rumah terus,” ujarnya.
Tiba-tiba Ayah dan Ibu ikut nimbrung.