Tuhan, Peluk Aku

Shafura
Chapter #4

Bab 4

“Apa yang kulakukan selalu salah di mata Ayah. Tidak bisakah Ayah bersikap lembut denganku sekali saja, seperti yang Ayah lakukan pada Roni dan Aldi? Dan Ibu, apakah tidak bisa mencoba untuk berbicara dengan Ayah agar bersikap baik denganku karena aku juga anak mereka dan aku pun ingin disayang”

“Nenek,” panggilku setelah mengucapkan salam.

Orang yang pertama aku cari di rumah sepulang sekolah adalah Nenek.

“Nenek di belakang, Kak.” Terdengar sahutan suara Aldi dari belakang rumah.

Aromanya harum sekali. Buru-buru aku ke belakang. Kulihat Ibu sedang membuat sesuatu di dapur. Ternyata Nenek lagi memanggang ayam. Terlihat Aldi sedang mengolesi kecap ke ayam.

“Wah, ayam bakar. Mentari sudah lama enggak makan ayam bakar,” ucapku yang begitu senang melihat ayam yang terlihat lezat itu.

“Bentar lagi siap. Mentari makan yang banyak, ya,” kata Nenek yang sedang membolak-balik ayam di atas panggangan bara api.

“ Beneran Mentari boleh makan banyak, Nek?” Aku khawatir Ibu marah.

“Lho, ini ‘kan ayam yang kita beli di pasar kemarin, Sayang,” ujar Nenek lagi.

Aku baru ingat. 

“Kak Mentari, nanti Aldi minta sayap satu boleh, ya,” pinta Aldi.

“Boleh, Dek,” jawabku sambil mengusap-usap kepalanya.

Akhirnya beberapa potong ayam di panggangan masak juga. Talam berukuran sedang berisi ayam langsung kubawa ke dapur. Sedangkan Aldi memadamkan bara api dengan menyiraminya air beberapa gayung.

“Ayam bakar, nih,” kata Roni.

“Itu punya Mentari,” jawab Ibu.

“Nenek masaknya untuk semua bukan untuk orang-orang tertentu saja,” kata Nenek yang sedang mencuci tangan di wastafel.

“Iya, siapa pun boleh makan, kok. Lagi pula mana habis aku makan ayam bakar sebanyak itu,” ucapku kesal. 

Jujur aku kesal dengan perkataan Ibu yang mengatakan kalau ayam yang dibuat Nenek khusus buatku. Meski Ibu kalau masak sesuatu dikhususkan untuk Roni dan Aldi saja, tapi aku tidak akan pernah membalasnya.

Ayah duduk di kursi. Ibu menaruh semangkuk sambal kecap di meja. Aku sudah menelan ludah ketika meletakkan talam berisi ayam di meja. Apalagi saat nenek membawa sepiring tumis kangkung. Semakin menjadi-jadi perutku ini segera minta diisi.

Aku berniat ingin mencari perhatian Ayah. Kuambil sepotong paha ayam untuk kuberikan pada Ayah.

“Ini paha ayam untuk Ayah,” ucapku sambil menaruh sepotong paha ayam di piring Ayah.

“Aku mau paha ayam yang itu,” ucap Roni menunjuk piring Ayah.

“Roni, itu ada sepotong lagi paha ayam di talam. Ambillah,” kata Nenek.

“Tapi yang punya Ayah sepertinya lebih besar. Aku mau yang itu.” Roni mulai merengek.

“Ukurannya sama saja dengan yang di talam, Ron.” Suaraku sedikit meninggi. Jujur aku geram sekali dengan tingkah Roni.

Lihat selengkapnya