Tuhan, Peluk Aku

Shafura
Chapter #5

Bab 5

“Mungkin aku memang tidak bisa diharapkan oleh Ayah dan Ibu, tapi apakah pantas orang tua melontarkan kata-kata menyakitkan seperti itu untuk anaknya? Tidak adakah rasa sayang di hati mereka untukku atau sebatas rasa kasihan seperti yang Ayah katakan?”

Entah jam berapa listrik kembali menyala. Ketika aku terbangun ruang tv sudah terang benderang. Saat lihat jam di dinding, ternyata sudah pukul 12 malam. Aldi dan Roni pun tidak terlihat lagi. Mungkin mereka sudah berpindah ke kamar. 

Aku mendengar suara tangisan di dapur. Mendadak bulu kudukku meremang. Apalagi ini sudah tengah malam dan sendirian di ruang tv. Kenapa Nenek tidak membangunkanku? Begitulah pikirku.

Kegelisahanku semakin memuncak saat melihat tugas di kertas. Ternyata belum diwarnai sedikit pun.

“Nila, apakah Ibu pernah memperlakukanmu tidak adil dengan kedua saudaramu?” 

Itu seperti suara Nenek. Akan tetapi, kenapa suaranya begitu halus? Aku penasaran, sebenarnya apa yang sedang terjadi di dapur. Perlahan aku berjalan ke arah dapur.

“Sudahlah, Bu. Jangan buat keributan di tengah malam. Mentari itu memang tidak bisa diharapkan.” Ayah tanpa basa-basi mengatakan hal itu.

Aku mematung di balik dinding mendengarnya. Sebegitukah Ayah menilaiku?

“Apa kamu bilang, Mansur? Cucuku itu tidak bisa diharapkan? Apa yang mau kamu harapkan dari dia?” Terdengar jelas, Nenek marah sekali dengan Ayah. 

“Kalian berdua adalah orang tuanya, tapi sikap kalian tidak seperti orang tua kepada anaknya. Apa karena kondisi Mentari seperti itu, kalian meremehkannya? Teman-teman di sekolahnya saja bisa menerima keadaannya. Kenapa kalian sebagai orang tuanya, tidak bisa melakukan hal yang sama?” Nenek terlalu membelaku.

“Alah, mereka itu hanya kasihan saja dengan Mentari,” ucap Ayah remeh.

“Lebih baik ada rasa kasihan dari pada kamu. Manusia yang tidak punya hati!” 

“Lebih baik saya tidur, Bu, daripada harus berdebat dengan Ibu gara-gara anak itu.” Perkataan Ayah sungguh menyakitkan. 

Aku menggeser sedikit ke sudut agar Ayah dan Ibu tidak melihatku saat mereka keluar dari dapur. Mereka langsung masuk ke kamar dan menutup pintu tanpa menoleh sedikit pun. Sementara aku, masih berdiri di sudut. Kakiku seolah-olah tidak berdaya untuk menopang tubuh ini.

Isak tangis Nenek terdengar jelas. Bulir bening dari mataku pun tidak bisa ditahan lagi untuk mengalir keluar.

Sudahlah, Nek. Aku tahu Nenek berusaha membuat Ayah dan Ibu untuk menerima keberadaanku, tapi sepertinya Ayah dan Ibu sama sekali tidak membutuhkanku di kehidupan mereka. Ah, aku hanya mampu mengucapkannya di dalam hati saja. 

Segera kuhapus air mata agar Nenek tidak melihatku menangis. Aku ke dapur berpura-pura ingin ke kamar mandi.

“Nenek, sedang apa di sini malam-malam?” tanyaku pura-pura tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.

“Eh, Mentari. Kamu terbangun karena terlalu terang di ruang tv, ya? Nenek sengaja tidak membangunkanmu dulu karena melihatmu kelelahan menggambar tugasmu,” kata Nenek tanpa melihat ke arahku.

Suara Nenek terdengar parau. Mungkin karena menahan sesak di dadanya.

“Nenek habis nangis, ya?” Aku masih berpura-pura tidak tahu.

“Tidak, Sayang. Nenek hanya kelelahan saja. Kamu mau ngapain di dapur?” Nenek mengalihkan pertanyaanku.

“Oh, Mentari mau ke kamar mandi, Nek.”

Lihat selengkapnya