Tuhan, Peluk Aku

Shafura
Chapter #6

Bab 6

“Apakah tidak ada ruang di hati Ayah dan Ibu untuk menerimaku. Semakin mencoba untuk mendapatkan perhatian Ayah dan Ibu, semakin diri ini tersakiti. Sebenarnya aku ini anak kandung mereka atau bukan, sih?”

Kebetulan di halaman belakang rumah ada dua batang pohon pisang sedang berbuah. Satu pohon, pisangnya sudah bisa dipanen. Sebagian sudah dibuat keripik dan sebagian lagi simpan untuk dibuat pisang goreng. Sore itu, Ibu sedang menggoreng pisang di dapur.

Aku tidak akan pernah bosan untuk meluluhkan hati Ayah dan Ibu. Aku berniat ingin membantu Ibu di dapur.

“Apa yang bisa aku bantu, Bu?” tanyaku saat melihat kulit pisang yang berantakan di meja.

“Tidak usah. Ibu bisa melakukannya sendiri. Kamu tunggu saja di ruang tv bersama Nenek dan Aldi,” jawab Ibu yang lagi mengangkat pisang dari wajan. Kemudian, meniriskannya.

“Tapi, aku ingin sekali membantu Ibu dan belajar membuat pisang goreng seenak buatan Ibu. Boleh, ya, Bu. Aku bantu Ibu.” Aku terus memohon agar Ibu mengizinkan aku untuk membantunya.

“Ibu bilang tidak usah, Mentari. Nanti yang ada, kamu bukannya bantu ibu, tapi buat ibu semakin repot,” ketus Ibu.

Aku tidak lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Sepertinya niatku ingin membantu Ibu sama sekali tidak bisa ditunaikan. Aku berjalan lunglai ingin ke ruang tamu. Kebetulan, hari itu adalah Hari Minggu, banyak film kartun yang diputar di TV. Biarlah aku menonton TV saja bersama Aldi dan Nenek.

“Mentari.” 

Langkahku terhenti saat Ibu memanggilku. Langsung aku menoleh ke arah Ibu.

“Ya, Ibu.”

“Kamu beneran ingin nolongin Ibu?” Sepertinya Ibu masih kurang yakin dengan keinginanku ingin membantunya.

Aku langsung mengangguk cepat.

“Tolong buatkan kopi untuk Ayah. Bubuk kopinya ada di dalam lemari. Kamu bisa ‘kan buat kopi?” tanya ibu memastikan.

Aku tersenyum bahagia. Hari ini Ayah akan meminum kopi buatanku. Aku akan membuatkan kopi yang enak untuk Ayah.

Segera kuambil bubuk kopi di lemari. Tidak lupa mengambil cangkir di rak. Kusendoki bubuk kopi sebanyak dua sendok teh dan dua sendok teh gula. Memang nasibku yang tidak bagus. Saat aku menuangkan air panas dari termos ke cangkir. Entah dari mana datangnya cecak sialan itu. Bisa-bisanya dia lompat ke tanganku. Refleks termos terhempas dari tangan kanan. Cangkir di meja ikut tersenggol dan terjatuh.

Prang!

Suaranya memekakkan telinga.

“MENTARI!” Jeritan Ibu membuat kakiku bergetar.

“Ada apa ini, kenapa ada pecahan cangkir di lantai?” Nenek tergopoh-gopoh dari ruang TV.

Lihat selengkapnya