TUHAN (TAK) KEPARAT

ajaib
Chapter #3

Hari pertama aku membenci Tuhan

Rumah kita masih penuh dengan hilir mudik manusia-manusia yang katanya peduli padaku dan anak-anak kita, Sayang. Mereka bilang aku harus bersabar dan bertabah karena kau pergi lebih dulu. Mereka bilang anak-anak kita adalah anak-anak sial yang harus menderita karena harus kehilangan ibunya di umur yang masih belia dan baru lahir ke dunia. Aku tak banyak menjawabi omong kosong mereka. Mereka selalu membandingkan perasaanku dengan apa yang mereka rasakan di waktu sebelumnya ketika mereka juga dilanda badai kematian seperti ini. Tapi apakah mereka tahu jika kepergianmu tak bisa aku sabari dan tabahi dengan semudah itu?

Sepertinya mereka telah menganggap duka akan sebuah kehilangan itu seperti sebuah hujan besar yang akan reda dengan sendirinya jika kita bersabar untuk menunggunya di balik genteng-genteng berisik yang dijatuhi rintiknya. Tapi sepertinya mereka tak tahu jika hujan sialan itu bisa datang kapan saja dan semaunya. Menyiksa dengan gelap dan sendu yang ia sisipkan di segala mendung serta angin-angin kencang yang mengantarnya.

Sama halnya dengan hari ini, Sayang.

Hari ini aku duduk sendiri. Tanpamu dan tanpamu.

Kamu baru saja aku antar ke rumah barumu, yang sepi dan begitu sempit, yang lembab tak ada cahaya, yang sunyi tanpa suara, dan yang penuh dongeng-dongeng menyeramkan tentang kehidupan baru setelah kematian melanda. Aku menyesal karena aku tak mengabulkan permintaanmu untuk membangun kamar yang lucu dan penuh warna favoritmu hingga kini aku malah mengirimmu untuk tidur di atas tanah tanpa alas dan malah harus ditutup lagi dengan gelap yang disangga papan. Aku menyesalinya, Sayang. Aku menyesal, sungguh.

Lihat selengkapnya