TUHAN (TAK) KEPARAT

february
Chapter #5

Hari ketiga, Tuhan sungguh keparat.

Tuhan begitu keparat, Sayang.

Bisa-bisanya ia mengirimiku dua buah manusia sebiadab ini pagi-pagi sekali. Semalam aku tak bisa tidur karena baru masuk ke kamar saja aku sudah menangis tersedu-sedu karena segala jenis aroma dan bayanganmu memenuhi ruangan yang tak begitu luas ini. Kamu selalu muncul di segala sudut ruangan ini. Aromamu tercium kemanapun aku menebar pandangan. Kamu ada di sini, selamanya. Dan aku semakin tak ingin menerima kepergianmu.

Lagi dan lagi semalam aku tak bisa tidur, Sayang. Ini sudah tiga malam penuh aku tak bisa menutup mata. Pun sebenarnya ketika aku masih tersedu menangis saat ingatan bahwa tiga hari yang lalu aku sudah menguburmu di tanah gelap, kedua putri kita yang cantik dan manis itu ikut menangis dari kamar seberang sana. Seolah mereka tahu jika ayahnya yang lemah ini tengah ingin mati sekarang juga agar bisa menyusul bundanya. Seolah mereka mengerti jika ayahnya yang pecundang ini tak akan pernah bisa merawat mereka tanpa ada bundanya yang kini malah terlelap lebih dulu.

Mereka selalu tahu, Sayang. Kedua anak kita itu selalu tahu jika aku tengah menangis. Yang lebih besar akan menghampiriku untuk mengecup pipiku dan berucap bahwa dia begitu merindukan kehadiranmu. Ia menangis-nangis sembari mengusap air mataku dan bilang padaku, “Ayah jangan nangis terus, Kakak sedih kalau Ayah nangis terus kaya gini. Kakak juga kangen sama Bunda. Tapi Kakak nggak boleh nangis terus karena Kakak masih lebih beruntung daripada Adek. Kakak sudah dikasih waktu sama Allah buat ingat senyum Bunda, tapi Adek nggak dikasih ingatan apa-apa tentang Bunda.” Katanya yang semakin membuatku ingin mengumpati Tuhan dengan segala jenis kata-kata kotor yang ada di dunia penuh sial ini.

Aku mengecup dahinya dengan lekat, aku tak tahu harus meresponnya dengan kalimat penenang yang seperti apa lagi karena untuk menenangkan diriku sendiri saja aku tak sanggup. “Maafin Ayah yaa, Kak.”

Ia malah semakin menangis mendengar kata maafku, ia memelukku begitu erat kemarin, Sayang. Ini adalah pelukan yang selalu ia berikan padamu di saat-saat sebelum dirimu dipamitinya kala berangkat ke sekolah. Pelukan ini harusnya milikmu, Sayang. “Kakak kangen sama Bunda, Ayah… Kakak nggak mau ditinggalin Bunda sendirian di sini. Kakak pengen makan masakan Bunda lagi.”

“Maafin Ayah yaa, Sayang…”

“Allah kenapa ambil Bunda dari kita, Ayah? Kenapa Allah tega sama kakak, Yah? Kakak habis ngelakuin apa sama Allah sampai Allah ambil Bunda dari kita?”

Memang Tuhan begitu keparat, Putriku.

Setelah malam menyakitkan itu, setelah obrolan menyiksa bersama malaikat cantik kita yang kini terlihat semakin kurus itu, pagi-pagi buta Tuhan yang keparat kembali mengirim manusia biadab yang mengetuk pintu rumah kita.

Itu saudaramu. Sepupumu, yang jauh dari luar kota. Ia baru datang pagi ini dan rasa-rasanya sudah ingin aku usir dari kediaman kita. Aku sangat ingin membakar koper yang bahkan belum ia keluarkan isinya itu, aku sangat ingin menyiramnya dengan air sisa comberan agar mulutnya yang penuh bangsat itu terkena penyakit yang membuatnya tak akan bisa bicara lagi. Aku sangat membencinya.

Kenapa Tuhan tak mengambilnya saja daripada dirimu? Mengapa Tuhan mengambilmu yang begitu penuh baik hati, sedang diriNya malah membiarkan manusia biadab dengan mulut beracun ini hidup sia-sia di dunia yang seharusnya penuh manusia-manusia penuh puji seperti dirimu, Sayang? Tolong tanyakan pada Tuhan keparat itu jika kau bertemu denganNya di sana. Tapi aku rasa kau tak akan pernah bertemu denganNya karena aku kini sadar bahwa Tuhan keparat itu hanya sebuah bualan belaka. Sepupumu yang tak aku kenal dekat ini datang bersama ibunya, yang merupakan adik dari Mamamu. Ia muncul dengan koper besar yang aku sendiripun tak tahu apa isinya. Pun aku tak ingin bertanya padanya.

Lihat selengkapnya