Serapah beribu sumpah, Sayang
Pada dasarnya, Tuhan memang tak pernah berpihak padaku
Pagi ini aku terbangun dengan mata bengkak di sofa yang hampir tak pernah kita duduki berdua karena tempatnya terpencil di sudut dekat ruang keluarga karena kamu tak begitu suka design sofa malang itu. Aku ingat betul aku mendorongnya ke sisi terpencil ini karena aku berniat untuk menjualnya, namun tak laku-laku sampai sekarang. Dan entah ini untung atau tidak, aku jadi bersyukur aku masih bisa menemukan satu-satunya tempat yang ketika aku dekati aku tak bisa melihat bayang-bayang hadirmu.
Aku dari malam-malam yang lalu tak bisa tidur karena aku selalu melihat bayanganmu yang pasti membuatku terisak penuh sesak. Hingga akhirnya kali ini aku bisa satu jam penuh memejamkan mata di sofa ini karena ini adalah satu-satunya tempat yang tak ada bayanganmu yang muncul di sofa ini.
Ini baru pukul tiga pagi. Rasa-rasanya aku sudah begitu terbiasa terbangun di jam-jam sedini ini karena di masa-masa kamu masih ada pasti kamu akan membangunkanku untuk bangun dan menyempatkan mengirim satu dua sujud kepada Tuhan yang kini aku benci sepenuh hati ini. Karena ternyata sujud kita di sela-sela dini hari ini diabaikan olehnya tanpa rasa iba sedikitpun pada kita berdua. Dan setelah kepergianmu sore itu, aku sudah tak pernah mengunjungiNya di mushola kecil yang kita bangun di dekat kamar kita berdua. Tempat yang mungkin tak akan pernah aku masuki lagi.