Hari ini sudah hari kelima aku tak bisa mencium pipimu setelah bangun tidur, Sayang. Dan aku sungguh merindukannya.
Rasa-rasanya setelah kepergianmu aku masih tak bisa mengambil keberanian untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar kita berdua, Sayang. Aku selalu meminta Ibu untuk mengambilkan baju ganti dan segala keperluanku. Aku meminta Ibu untuk mengeluarkan semua bajuku dari lemari kita berdua untuk ia taruh di kamar malaikat cantik kita saja agar aku tak perlu membuat keributan dengan tangisan cengeng saat ingatan-ingatan tentang dirimu datang menyergap hatiku yang tengah aku usahakan untuk tak hancur di hadapan putri kita.
Tapi, Sayang. Aku tak tahu apakah tindakanku ini benar atau tidak. Aku tak tahu apakah menenangkan hati untuk terlihat baik-baik saja di hadapan anak kita ini entah keputusan yang benar atau tidak. Karena aku takut. Aku takut jika aku terlihat baik-baik saja tanpamu maka anak-anak akan berpikir bahwa kepergianmu bukanlah hal yang pantas ditangisi. Aku takut… Aku takut jika anak-anak kita akan menganggap Ayah mereka tidak membutuhkan Bundanya lagi. Aku takut jika malaikat dan peri kecil kita akan berpikir bahwa kematian Ibundanya adalah hal biasa saja. Aku takut mereka akan melupakanmu jika aku terlihat baik-baik saja, Sayang.
Sayang, kenapa setiap kali ada orang yang datang mereka selalu memaksaku untuk melupakanmu secepatnya?
Kemarin saat aku mengantar malaikat cantik kita, seorang kawan menghampiriku dan menepuk-nepuk punggungku penuh iba. Ia berucap bahwa dirinya juga turut berbela sungkawa atas kepergianmu, dan entah ia hanya bercanda atau bagaimana karena setelah ucapan bela sungkawa itu ia malah mencoba meracuniku dengan ucapan, “Jangan dipikirin terus, Mas. Kematian itu sudah takdir, nggak baik kalau Mas berlarut-larut dalam kesedihan. Semoga cepat dapat ganti yang lebih baik ya, Mas.”
Aku tak menjawabnya, Sayang. Mengangguk saja aku tidak. Apalagi tersenyum. Yang ada malah sumpah serapah yang aku muntahkan padanya karena mengatakan hal-hal busuk seperti itu pagi-pagi sekali. Aku kemarin sempat merengkuh kerah lehernya dan hampir memukul mulut biadabnya jika satpam sekolah malaikat cantik kita tidak menahan emosiku.
Iya, Sayang, benar. Aku kembali menjadi manusia temperamental seperti sebelum aku bersama dirimu. Maafkan aku jika aku kembali menjadi sosok yang kamu benci. Tapi sepertinya sampai kapanpun aku tak akan bisa menerima jika orang-orang mendoakan aku untuk mendapatkan ganti dari dirimu dan lebih baik dari dirimu. Karena kedua hal itu tidak akan pernah terjadi. Kamu hanya kamu, kamu adalah yang terbaik. Tak akan ada yang pernah bisa menggantikan dirimu. Tak akan ada yang pernah bisa menyaingi kebaikanmu. Kamu adalah arti dari sempurna itu sendiri, Sayang. Kamu itu sempurna. Maka aku tak akan pernah bisa dan tak akan pernah menerima yang lain jika itu bukan dirimu. Tak akan pernah bisa.
Sayang, pagi ini rasanya aku ingin bunuh diri saja agar aku bisa kembali bersamamu. Aku benar-benar merindukanmu.
Sedih ini tak berujung, sakit ini tak berakhir, duka ini tak akan pernah bisa hilang. Aku merindukanmu. Dirimu selalu membiasakanku untuk menangis dan bercerita padamu seorang, Sayang. Maka kini saat aku tengah dilanda duka semenyiksa ini aku tak bisa membaginya kepada yang lain selain dirimu. Lalu apa yang harus aku lakukan jika tidak menyusulmu saja? Apakah ada jawaban lain selain yang satu itu? Bahkan setelah lima hari pun kamu tak ada berkunjung semenit dua menit dalam mimpi. Padahal aku begitu ingin mendengar suaramu lagi, padahal aku begitu ingin memelukmu lagi, padahal aku…aku begitu ingin menciummu lagi. Seperti yang sebelum-sebelumnya.
Sayang, kini siapa yang harus aku jadikan tempat pulang? Siapa yang harus aku jadikan tempat berkeluh kesah dan menangis tanpa takut dianggap cengeng dan pecundang? Kenapa kamu malah pergi secepat ini, Sayangku? Kenapa tak mau menungguku atau mengajakku pergi bersamamu? Bolehkah aku menyusulmu saja? Malaikat cantik dan peri manis kita pasti akan hidup baik-baik saja bersama nenek dan kakeknya. Maka tunggulah aku di sana.
Tunggu aku ya, Sayang. Aku akan mencari cara untuk kembali bersamamu lagi. Ini masih pagi buta, maka aku pasti bisa menyusulmu tanpa halangan apapun. Ibu juga masih terlelap dalam tidurnya. Aku akan datang, Sayang. Aku akan datang.
Mungkin ini adalah yang terbaik, Sayang. Pisau daging ini pasti adalah jelmaan sebuah jawaban untuk aku bisa kembali bersama dirimu. Aku akan membawanya ke kamar mandi saja, agar tak ada yang bisa menggagalkan rencanaku untuk menemuimu.