Ternyata Tuhan memang begitu keparat, Sayang. Ia selalu memiliki cara sedemikian rupa untuk membuatku tersiksa atas rayuan neraka dunia yang Ia selipkan di hari-hari setelah kematianmu. Tak ada ampun. Tak ada iba. Ia sepertinya begitu menikmati pertunjukan tangis dan lara yang selalu aku tampilkan di detik-detik yang berkunjung dan berlalu tanpa henti.
Sayang, Tuhan yang sempat kita jadikan pegangan dulu itu memng dasarnya tak pernah mau memberiku jeda barang sedetik untuk bahagia. Bahkan di saat aku meminta mati pun, Ia juga tak mau mengabulkannya. Selamatmu diabaikan dan kini kematianku juga dibiarkanNya menguap begitu saja. Ia sama sekali tak mengizinkanku untuk bertemu denganmu karena pagi ini aku terbangun dalam balutan baju rumah sakit dan pergelangan tangan yang aku potong semalam itu kini sudah terbalut rapi dengan kain kasa dan segala jenis selang pembawa cairan infus juga terpasang di tangan yang hampir putus ini.
Aku masih tak mengerti. Mengapa Tuhan bisa menjadi seegois ini? Mengapa Tuhan bisa berkhianat pada umatNya sendiri?
Ia mengambilmu tanpa izinku dan kini saat aku dengan senang hati ingin menyumbangkan jiwaku untuk menjadi pelayannya, Ia malah menolak dan membiarkanku hidup lagi. Padahal yang lebih pantas untuk hidup dan menghirup udara ini adalah dirimu, Sayang. Kamu adalah yang paling dibutuhkan kedua putri cantik kita.
“Sayang, Ayah sudah bangun jadi jangan menangis terus.”
Samar-samar aku bisa mendengar suara Ibumu, Sayang. Lalu ditutup dengan suara tangis peri manis kita yang baru kau lahirkan ke dunia enam hari yang lalu. Itu artinya kamu juga sudah hampir satu minggu meninggalkan kami bertiga, Sayang.
Ibumu dan putri kedua kita kini sudah berdiri di samping bangsalku, Sayang. Dan aku bisa mendengar dengan jelas suara isak tangis putri kita yang selama lima hari ini tak pernah aku sentuh raganya karena setiap kali melihatnya aku akan selalu teringat akan bagaimana rupa pucatmu yang begitu mengenaskan terbaring di atas bangsal operasi di ruangan yang sepertinya akan menjadi tempat yang paling aku takutkan. Dan aku tak mau jika nantinya aku selalu melihat duka dan air mata di netranya yang merupakan turunan persis dari manik-manik penuh deru ombak milikmu.
Karena hingga saat ini pun aku masih terbayang jelas segala detail tragedi tragis kita hari itu, Sayang. Aku ingat betul. Sungguh. Aku ingat betul aroma darah sore itu, aku ingat betul bagaimana isak tangismu karena menahan rasa sakit saat peri manis kita mencoba untuk berpisah darimu. Aku masih ingat juga seberapa banyak kabel-kabel medis yang melilit-lilit raga ringkihmu, aku juga masih bisa ingat seberapa banyak air mata yang aku biarkan tenggelam dalam lekuk liuk leher dan ceruk pipimu. Aku ingat semuanya. Aku ingat seberapa cepat laju mobil ambulance yang membawa kita bertiga sore itu. Dan naasnya, aku tak sadar jika di sore yang aku kira akan menjadi waktu membahagiakan untuk kita berdua itu ternyata ada satu malaikat maut yang bertengger diam-diam di atas mobil ambulance yang kita naiki. Mungkin yang lain bisa melihatnya, mungkin yang lain bisa menyadari kehadirannya, pun mungkin kamu juga mengetahui keberadaannya. Malaikat yang biadab itu mengikuti kita entah darimana. Aku sudah lalai karena seharusnya aku bisa mengusirnya namun aku malah membiarkannya mengikuti kita berdua sampai akhirnya ia memilih untuk membawamu sore itu. Tuhan memang begitu biadab, Sayang. Karena Ia dengan teganya menyembunyikan malaikat maut sialan itu dari tangkapan mataku dan membiarkan malaikat maut itu memutus jiwamu diam-diam dari belakangku. Tiba-tiba saja ia mengambilmu atas perintah Tuhan tanpa memikirkan bagaimana nasibku dan nasib kedua putri kita yang begitu malang.
“Bu, maaf. Aku belum siap untuk menggendongnya.” Katakanlah aku ini seorang Ayah yang tak bertanggung jawab, Sayang. Aku benar-benar belum sanggup jika harus melihat segalanya peninggalanmu di wajah peri manis kita yang masih begitu mungil itu. Maka datanglah dan marahi aku dengan segala raut kesalmu, aku begitu rindu dengan rupa dan suaramu.