Ini adalah pagi ketujuh aku hidup tanpamu, Sayang. Dan sungguh demi langit biru yang tak kunjung runtuh itu, ini semua sungguh menyiksa.
Di pagi yang menyedihkan ini, Sayang, ruangan rumah sakit yang tak begitu lebar ini sudah dipenuhi oleh tamu-tamu tak diundang yang tiba-tiba saja sudah hadir di depan pintu dan memaksa untuk masuk menyapaku meski aku sama sekali tak menginginkan kehadiran mereka. Karena lagi dan lagi yang keluar dari bibir mereka hanyalah seribu kata sabar dan seribu kalimat penenang yang sebenarnya malah semakin membuatku ingin meluapkan segala amarahku. Karena aku yakin kau pun pasti tahu, alasan apa yang membuatku ingin meluap-luap. Dan ya, itu karena mereka selalu memaksaku untuk melupakanmu secepatnya dan menanggap melupakanmu adalah jalan pintas paling mudah agar aku bisa kembali hidup tenang.
Padahal hal itu hanyalah sebuah omong kosong belaka.
Melupakanmu bukanlah sebuah ketenangan bagiku, melainkan neraka. Sebuah neraka yang sampai aku matipun tak akan pernah aku injak batasnya. Karena aku tak mau dan tak akan pernah melupakanmu dengan segala kenangan-kenangan kita dulu. Aku tak akan pernah melupakanmu, Sayang. Tak akan.
Aku tak mengerti mengapa orang-orang selalu ingin merayuku untuk melupakanmu, aku tak mengerti mengapa mereka semua begitu terobsesi dengan kenangan-kenanganku bersamamu, aku tak mengerti mengapa mereka begitu tak tahu diri dan memaksaku untuk segera menghapusmu dari hidupku. Padahal aku tak pernah mengganggu kehidupan mereka, padahal aku tak pernah ikut campur dalam segala urusan hidup mereka, aku tak pernah peduli dengan segala jenis masahal di hidup mereka. Bahkan saat mereka mengalami sebuah kehilangan, aku turut berduka atas kepergian itu dan mendoakan yang terbaik untuk mereka semua. Jadi mengapa mereka sekarang malah membalasku dengan omong kosong seperti itu?
Padahal kamu adalah orang baik, padahal dirimu adalah yang terbaik, jadi mengapa mereka begitu ingin cepat-cepat melupakanmu dan memaksaku untuk ikut-ikut juga?
Aku tak pernah tahu apa itu arti cinta, Sayang. Aku hanya bisa menemukannya darimu. Aku juga tak pernah tahu bagaimana rasanya sebuah kehilangan yang hebat seperti yang ditampilkan di film-film yang pernah kita tonton dulu, dan ternyata aku juga bisa merasakan itu semua darimu. Darimu seorang.
Sayang, sebenarnya aku merasa lebih sedih kali ini. Karena setiap kali aku mengingatmu, kini yang aku ingat pertama kali adalah ingatan yang paling menyedihkan. Dan mungkin kamu akan membenciku untuk hal ini, bukan? Maaf karena setiap kali namamu disebutkan, aku selalu teringat wajah pucatmu dan darah-darah yang memenuhi pakaianmu. Maaf karena aku selalu mengingat rupa penuh air mata milikmu saat kamu mencoba untuk berpamitan denganku di sore yang keparat itu. Maafkan aku. Aku janji mulai saat ini aku akan mengingat senyum manis dan paras cantikmu saja, yang penuh bahagia dan tak ada duka di sana.
Aku kira Tuhan tak akan sejahat ini pada kita berdua, Sayang. Aku kira Tuhan tak akan setega ini pada kita berdua. Kita sudah mengorbankan hampir seluruh hidup kita untukNya, kita sudah menyisakan waktu untuk bersujud padaNya, kita sudah percaya akan segala janji-janjiNya yang akan mengabulkan segala do akita jika kita mau beriman dan bersembahyang padaNya. Jadi aku benar-benar tak pernah mengira jika Ia bisa sekejam ini atas dirimu dan diriku juga, Sayang.
Aku tahu seluruh makhluk hidup akan mati jika sudah saatnya, aku tahu kematian memang satu-satunya hal yang akan dan pasti dialami oleh seluruh makhluk hidup di dunia ini. Yang tak aku tahu adalah Tuhan bisa mengingkari janjiNya untuk mengabulkan doa-doa pengikutnya. Entah mengapa Tuhan mengirimkan malaikat pencabut nyawa begitu cepat di kehidupan kita berdua. Padahal jika memang kematian itu menjadi hal terburuk yang tersisa, aku berharap yang mati itu adalah aku bukan dirimu.
“Mas,” suara itu mengagetkanku, Sayang. Itu adalah suara adik perempuanku yang selalu memihakku dalam hal apapun. Dan air mataku langsung mengalir tanpa henti saat aku menerima pelukan darinya yang begitu erat, “maafin aku ya karena aku baru bisa datang sekarang.” Ucapnya padaku sembari terisak dalam pelukanku.
Ibuku dan Ibumu, serta putri kedua kita yang belum punya nama itu keluar dari kamar. Mereka berdua sepertinya ingin memberi aku dan Adik kesayanganku ini waktu untuk saling bercerita karena keduanya sama-sama tahu jika selain dirimu, aku hanya bisa bercerita sebebas lautan jika bersama Adikku yang kini sudah beranjak dewasa. Dia duduk di kursi yang tersedia, mengambilkan aku segelas air putih dan menuntunku agar aku bisa mendapatkan posisi yang lebih nyaman.