Ini sudah dua hari aku hanya bisa terlentang di bangsal rumah sakit. Dan pagi ini aku terbangun di sebelah putri pertama kita yang semalam memaksa untuk tidur di sini menemaniku dan terlelap dalam pelukanku. Bahkan saat terlelap seperti ini pun ia memiliki kelopak mata yang mirip dengan milikmu, Sayang. Dan sebenarnya aku bersyukur sekali karena kedua putri kita membawa lebih banyak warisan dari tubuh dan rupamu. Aku bersyukur karena mereka berdua pasti akan tumbuh menjadi dua wanita yang cantik seperti ibundanya ini.
Tadi malam saat mulai memasuki dini hari, malaikat cantik kita terbangun dari tidurnya dan tersenyum sembari menahan tangisnya. Ia segera memelukku dan menyembunyikan wajahnya pada dadaku. Dan saat aku tanya mengapa ia terbangun, dia membalasku dengan mempererat pelukannya padaku dan berucap, “Ayah, Bunda datang di mimpi Kakak.”
Kenapa kamu hanya datang ke mimpi putri pertama kita, Sayang? Yang rindu padamu bukan hanya dirinya, aku pun sama saja.
Ia melanjutkan, “Bunda cantik sekali, Ayah. Bunda pakai gaun cantik dan senyum manis ke Kakak.”
“Bunda bilang apa ke Kakak?” tanyaku menanggapi sembari mencoba untuk menahan air mat aini agar aku tak selalu terlihat begitu menyedihkan di hadapan kedua anak kita yang cantik dan manis ini.
“Bunda bilang, Kakak nggak boleh marah ke Adik.”
“Memangnya Kakak marah sama Adik?” tanyaku lagi karena aku tak paham apa maksud ucapannya. Dan ternyata ia mengangguk setelah mendengar pertanyaanku, Sayang. Ia mengangguk saat aku tanya apakah dirinya marah kepada adik manisnya yang baru terlahir delapan hari yang lalu.
Aku menatap matanya, “Kenapa Kakak marah sama Adik?”
“Karena gara-gara Adik, Bunda jadi ninggalin aku sama Ayah.”