Ternyata seharian kemarin aku masih belum menemukan waktu untuk aku bisa sembunyi-sembunyi mengakhiri hidupku sendiri, Sayang.
Dan di hari kesembilan aku kau tinggalkan, ternyata aku masih bertahan hidup di dunia yang sialan ini, yang tak aku kira aku bisa bertahan selama ini tanpa adanya rupamu yang menyapaku setiap pagi. Dan pagi ini, aku lagi-lagi terbangun di sisi malaikat cantik kita yang masih tak mau tidur di rumah kita karena ia katanya tak mau melihatku menyakiti diriku sendiri seperti yang kemarin aku lakukan.
Ia juga memaksaku untuk berjanji padanya agar aku tak melakukan hal-hal seperti itu lagi sesaat dirinya hampir larut dalam kantuknya namun aku tak mau mengiyakan permintaannya. Aku hanya tersenyum dan mengakhiri pintanya dengan kecupan manis di dahinya. Kecupan yang sudah jarang aku berikan padanya karena kecupan itu lebih sering berlabuh di dahi milik Ibunya, yang itu adalah dirimu.
Kadang aku begitu takut akan tatapan matanya. Karena ia seperti selalu bisa membaca apa yang tengah terlintas di pikiranku. Ia seolah bisa mengetahui segalanya hanya dengan menatapku dengan netranya yang tajam dan rindang seperti milikmu itu.
“Ayah.” Malam tadi ia memanggilku yang tengah melamun dengan posisi dirinya sudah berbaring di sebelahku dengan menjadikan lengan kananku sebagai bantalnya. Dan itu sama persis dengan apa yang selalu kamu lakukan sebelum tidur di ranjang kita yang begitu hangat.
Aku menoleh padanya dan ternyata ia sudah menatapku begitu dalam, “Ayah kangen sama Bunda, ya?”
Aku tersenyum dan mengangguk.
“Ayah pengen nyusul Bunda, ya?” pertanyaan ini kembali muncul dari bibirnya yang hanya secumit itu.