Maka izinkan aku untuk melihatnya barang sejenak, Tuhan
Jika Kau mengabulkan, mungkin aku bisa memaafkan segala kesalahanMu
Hari ini Tuhan lagi-lagi bertindak seperti bajingan tak tahu diri dengan mengirimkan sebuah buket bunga besar dan satu susun kue dengan segala jenis hiasan buah yang datang pagi-pagi sekali.
Bagaimana aku tak menangis lagi saat aku bisa dengan jelas melihat ucapan hari jadi pernikahan kita. Dilengkapi lilin-lilin Panjang yang berdiri tegak di atasnya. Juga dipenuhi warna merah muda karena aku yang memesannya saat sehari sebelum petaka itu datang. Aku ingat betul aku memesannya agar aku bisa menikmati kue manis ini dengan dirimu setelah melahirkan sembari tertawa-tawa menggendong dua putri kita. Namun ternyata aku tak bisa mewujudkannya karena di hari ulang tahun pernikahan kita yang ke sepuluh, kamu malah tak ada di sisiku lagi. Lalu harus aku apakan kue ini, Sayang?
Bagaimana bisa aku melewati hari dengan senyuman jika setiap detik yang muncul di hidupku setelah kepergianmu malah selalu ada hal-hal baik yang berubah menjadi tangisan cengeng suamimu ini. Ibuku dan Ibumu cepat-cepat menerima kue dan buket besar itu untuk segera membawanya masuk dan menyimpannya agar aku tak melihatnya. Akhir-akhir ini mereka tak ada memaksaku untuk makan atau minum lagi. Mungkin sudah mulai jenuh atau mungkin mereka sudah sadar jika aku tetap tak bisa menerima makanan meski mereka memaksaku dengan cara apapun.
Karena setiap kali aku mencoba memasukkan sesuap dua suap makanan, otakku akan selalu memutar adegan terakhir kita saat dirimu mengeluh penuh sakit sore itu. Dan percobaan itu akan berakhir dengan sebuah mual karena seluruh tubuhku menolak setelah aku teringat bahwa dirimu di sana telah tenggelam sendirian.
Akhirnya kini aku berlari lagi menuju taman mungil kita, Sayang. Mungkin hari ini tema ceritanya adalah aku ingin mengadu padamu. Untuk semua hal buruk yang terjadi akhir-akhir ini setelah dirimu tiada.
Aglonema yang baru runtuh daun keringnya itu menatapku dengan ramah. Membuatku ingin segera mendekat padanya. Dan sepertinya ia memiliki sihir ajaib karena kini aku sudah berada tepat di hadapannya, jemariku tiba-tiba saja terulur untuk mengelusnya. Rasa nyaman yang tak bisa aku deskripsikan bagaimana sejuknya embun-embun kecil yang meresap di jemariku. Atau rasa ringkih yang ia suguhkan dari salah satu daun yang tergores. Mungkin tergores ketika malaikat cantik kita berlarian kemarin, atau mungkin ada burung-burung asing yang tak sengaja mampir ke sini untuk melukainya, atau mungkin aku yang merusaknya tanpa sadar. Tapi aku merasa tenang.
Maka aku akan mengadu padamu di depan aglonema yang dulu sering aku hina bentuknya ini.
Sayang…
Istriku yang manis. Apa susahnya datang ke mimpi suamimu yang malang ini? Tidakkah kamu merasa iba pada suamimu ini karena harus merayakan hari jadi perayaan pernikahan kita sendirian saja? Tidakkah kamu merasa sedikit bersalah karena meninggalkan suamimu ini menangis karena tak ada yang mau meniup lilin dan memotongkan kue tart susun yang sudah aku siapkan untuk memberimu kejutan?
Tapi mengapa malah Tuhan yang memberi kita kejutan semenyakitkan ini sebelum hari jadi pernikahan kita?
Dua minggu yang lalu aku memesankanmu sebuah buket tulip putih begitu besar pun aku lengkapi dengan pesanan kue susun dengan penuh cokelat dan buah-buahan favoritmu. Aku juga sudah menyiapkan sebuah video menggemaskan yang aku simpan dari belasan tahun lalu saat kita berdua baru saja menjalin hubungan di masa-masa manis itu.