Malam sudah berkunjung dan aku tahu betul bahwa aku sudah terlelap dalam tidur yang masih diselimuti resah tak berujung ini.
Apakah malam ini kamu benaran akan datang menjengukku, Sayang?
Dalam sebuah mimpi yang tak aku tahu entah ini hanya sekedar hayalan belaka atau memang benar sejentik bunga tidur ini, aku merasa tengah memasuki sebuah balon redup yang terasa penuh kabut. Aku melihat sebuah pintu yang tak asing. Dan aku tahu betul bahwa papan kayu panjang itu adalah pintu utama dari rumah kita. Aku memberanikan diri untuk mendekat dan membukanya.
Entah mengapa di halaman depan rumah kita tiba-tiba saja dipenuhi dengan bunga-bunga melati yang merambat-rambat bermekaran di atas tanah. Aku mencari cara untuk tidak menginjaknya karena aku merasa resah dan takut jika aku bisa menyakitinya. Belum sampai aku memegang pintu rumah kita, telingaku yang masih waras ini samar-samar mendengar suara-suara aneh yang membuatku ketakutan. Aku seperti penah merasakan ini semua. Rasa sakit dan sesak menyergap dadaku tanpa isyarat, bak ribuan pedang panjang menusukku berulang kali. Seolah pedang-pedang itu ingin menyiksaku sampai mati.
Tanganku mencoba untuk mendorong pintu utama rumah kita. Pelan-pelan aku langkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Untuk mencari asal suara samar-samar yang sedari tadi mengganggu pendengaranku.
Aku menuju ke arah ruang keluarga yang terlihat begitu ramai dari sini. Dan ketika aku mendekat, aku bisa dengan jelas melihat dirimu yang terbungkus kain putih suci, terlentang di hadapan para tamu yang tak aku lihat bagaimana wajahnya. Mengapa kamu hanya diam saja di sana, Sayangku? Mengapa kamu tak mengenakan gaun cantik seperti saat kamu mampir ke mimpi malaikat cantik kita yang lucu itu? Mengapa kamu malah datang dengan cara yang menyakitkan seperti ini? Bukankah kita sudah berjanji akan merayakan hari ulang tahun pernikahan kita, Sayang? Bukankah kita sudah berjanji untuk meniup lilin dan memotong pun menikmati kue coklat manis penuh krim kesukaanmu itu?
Memang benar aku memintamu datang, Sayang. Tapi bukan dengan cara yang seperti ini. Aku ingin melihatmu berputar dengan gaunmu yang cantik, aku ingin melihatmu tersenyum cantik penuh bahagia di wajahmu seperti yang selalu dirimu tampilkan di mimpi putri pertama kita saat ia selalu memamerkannya padaku setiap kali dirimu datang dengan gaun cantik dan senyum manis. Jadi mengapa dirimu malah datang dengan cara yang seperti ini?
Aku ingin segera bangun dari mimpi ini, Sayang. Bukan ini yang aku mau.
Tapi… mengapa aku tak segera bangun dari mimpi menyeramkan ini? Mengapa kakiku malah melangkah untuk mendekat ke arahmu yang sama sekali tak terlihat menarik napas ataupun membuka mata. Aku berjalan ke arahmu, Sayang. Atau mungkin… Apakah ini bukan mimpi melainkan kesempatan dari Tuhan untuk aku agar bisa membangunkanmu dan menyelamatkanmu dari kematian, Sayang? Apakah ini adalah perwujudan dari doa-doa yang selama ini aku makikan padaNya? Maka izinkanlah aku untuk mencoba segala cara, Sayangku.
Jemariku segera terulur padamu, Sayang. Para tamu pelayat menatapku penuh dengan netra yang diombaki iba dan lara nyata dalam sorotnya. Mereka semua seolah ingin menghentikanku dengan tatapannya, seolah mereka tahu bahwa meski ini di dalam mimpi, harapanku untuk bisa membuatmu hidup kembali adalah hal yang mustahil. Karena sampai sekarang pun kamu tak ada merespon tingkah cengengku yang menangisimu sembari sibuk menghentak-hentakkan tubuhmu yang sudah terbalut kain suci putih ini.
“Sayang, aku mohon… jangan tinggalkan aku.”