TUHAN (TAK) KEPARAT

february
Chapter #16

Hari ketiga belas

Hari ini aku akan mengantar putri cantik kita menuju sekolahnya lagi. Ia menangis begitu hebat dan memintaku untuk mengantarnya berangkat sekolah karena sepertinya ia masih begitu takut jika aku akan meninggalkannya ketika ia tak bisa menangkap radar keberadaanku.

Maka di sinilah aku. Di balik kursi kemudi sembari melirik malaikat cantik kita yang akhir-akhir ini selalu duduk di kursi penumpang yang biasanya selalu jadi milikmu. Tapi akhir-akhir ini ia mencoba untuk mencuri singgasanamu itu dengan tingkah lucunya. Di depan sana lampu merah baru turun. Dan dari belakang ada sebuah motor matic yang dikendalikan oleh seorang laki-laki seumuranku menyalip dari samping di sela-sela mobilku dan mobil yang lain. Aku menoleh sebentar, dan ternyata di belakangnya ada seorang putri kecil yang diapit oleh si laki-laki seumuranku itu bersama wanita yang aku tebak adalah istri dan ibu dari putri kecil yang pipinya terhimpit punggung ayahnya itu.

Malaikat cantik kita ikut menoleh untuk menonton juga ternyata. Ia berkomentar pelan. “Dulu sebelum punya mobil kita juga sering naik motor sama Bunda kaya gitu ya, Ayah.” 

Aku memejamkan mata sebentar lalu mencoba untuk tersenyum padanya. “Kamu masih ingat?”

“Masih dong, ingatan aku kan bagus.”

Aku memanjakan dagunya seolah ia adalah seekor kucing gemas yang butuh elusan. “Anak siapa dulu?”

“Anak Ayah!” teriaknya heboh.

Aku kembali melaju saat merah sudah pudar dan hijau baru saja turun. Dan di sepanjang jalan menuju sekolah malaikat cantik kita, yang ada di kepalaku hanyalah ingatan saat kita masih belum cukup mampu dulu. Saat di mana hari-hari kita isinya hanya penuh dengan bahagia sahaja.

Dulu setiap sore kita akan menikmati matahari yang akan tenggelam di balik pepohonan jalan bersama dengan berkendara dengan motor mengelilingi kota. Mungkin itu empat atau lima tahun yang lalu. Yang aku ingat adalah putri cantik kita masih begitu mungil dan akan merengek manja ketika kepalanya terhimpit oleh tubuh kita berdua. Aku masih ingat bahwa dirimu akan selalu memintaku untuk berhenti sebentar di tanam kota karena di sana ada satu pot aglonema yang selalu kamu inginkan kehadirannya di rumah kita namun aku belum bisa membelikannya untukmu waktu itu. Dan saat aku sudah mampu membelinya, kamu malah hanya merawatnya beberapa bulan saja dan memilih untuk berhenti menemuinya lagi.

Hari-hari itu adalah yang terbaik, Sayang.

Hari-hari di beberapa tahun yang lalu mungkin bisa aku sebut sebagai masa di mana kenangan-kenangan manis banyak terbentuk karena aku masih memiliki banyak waktu untuk berlibur dan menghabiskan waktu bersamamu dan malaikat cantik kita. Tak seperti dua tahun belakangan ini saat aku sudah mulai mendapat jabatan yang lumayan tinggi sehingga aku mulai tak bisa meninggalkan banyak pekerjaan dan mulai mengurangi porsi waktuku untuk berkeliling dan mengoleksi kenangan-kenangan baru bersamamu dan putri cantik kita.

Sekarang aku menyesalinya, Sayang.

Seharusnya aku menyisihkan waktu yang lebih banyak untuk aku berduaan dengan dirimu. Meski hanya sekedar bermanja-manja atau menikmati secangkir kopi bersama ataupun hanya sekedar untuk berbincang di taman rumah kita yang aku bangun sebagai ucapan permintaan maafku karena dulu pun aku sadar bahwa aku begitu sering meninggalkanmu dan malaikat cantik kita menghabiskan waktu sendirian di rumah saja sehingga aku ingin menebus dosa itu dengan membangunkan taman impianmu dan membelikanmu berbagai jenis aglonema dan bunga melati yang begitu kamu sukai dulu.

Andai aku bisa membelikanmu banyak hal lebih awal, mungkin kamu tak akan tega meninggalkanku sendirian di sini seperti sekarang.

Barangkali kamu akan merasa tak enak dan tak rela untuk membiarkan berbagai jenis aglonema kesukaanmu itu tumbuh sendirian di pot-pot yang terbaring di taman rumah kita. Pun mungkin saja kamu tak akan mau menghentikan napasmu karena aroma mekarnya bunga melati yang kita tanam bersama itu akan menghentikan segala jenis usahamu untuk pergi jauh tanpa pamit seperti yang kamu lakukan tiga belas hari lalu. Karena jika kamu melihat seberapa cantiknya bunga melati yang mekar serembyung-rembyungnya itu, aku yakin kamu tak akan mau beranjak dari taman meski malaikat maut memaksamu pergi menuju entah berantah yang aku tak tahu di mana dirimu berada sekarang ini. Tapi aku harap, kamu selalu berada di tempat yang akan membuatmu nyaman dan bisa tersenyum lega tanpa tangis lagi.

Lihat selengkapnya