Tuhan, ini sudah dua minggu aku membencimu
Namun kenapa Kau tak ada tanda-tanda ingin mengambil nyawaku?
Ini sudah dua minggu pula umur si peri manis kita, Sayang. Dan sampai empat belas hari ini, aku masih belum memberinya nama dan aku belum pernah menggendongnya lagi selain gendongan terakhir yang aku berikan padanya saat aku harus melantunkan adzan di telinganya sebelum akhirnya aku menyerahkannya pada orang lain karena aku harus segera menemuimu yang tengah bertaruh nyawa dan berjuang melawan malaikat pencabut nyawa yang tengah mencoba menguasai jiwamu.
Dan kali ini, di hari ke empat belas ini. Aku tengah mencuri pandang diam-diam untuk menengok peri manis kita yang tengah tertidur di kotak tidur bayi yang sudah kita siapkan di kamar kita dulu namun setelah kepergianmu Ibuku dan Ibumu meminta kedua Ayah kita untuk membawa keluar kotak tidur bayi itu keluar dari kamar kita dan menempatkannya di kamar tamu yang akhir-akhir ini ditempati oleh Ibu kita bergantian. Dan di sinilah aku sekarang ini. Mengamping di tepi pintu untuk mengintip peri manis kita yang kakinya dari tadi tak mau diam karena sepertinya dirinya tengah tak nyaman dengan tidurnya. Aku ingin memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar tamu ini namun kakiku tak mau bergerak sama sekali.
Akhirnya ia menangis juga, Sayang.
Begitu kencang hingga Ibumu yang hari ini berjaga segera berlari dari dapur dengan susu formula yang sudah ia siapkan di botol susu yang beberapa bulan lalu kita beli bersama saat kita berbelanja untuk mempersiapkan kelahiran peri manis kita di sebuah pasaraya. Ibumu berlari melewatiku dengan sebuah tepukan hangat di punggungku. Ia tak berucap apapun, aku hanya melihat senyum getirnya dan aku juga membalas senyum getir itu dengan senyuman yang tak kalah getir pula. Ia tak memintaku untuk masuk, ataupun memintaku untuk pergi. Ia hanya tersenyum dari dalam sana sembari sesekali melirikku yang masih berdiri di tepi pintu kamar tamu yang berubah menjadi kamar peri manis kita ini.
Ibumu berbisik pelan pada peri manis kita, namun aku masih bisa mendengarnya. Ia sudah menggendong peri manis kita dan membawanya untuk merebahkan diri di atas pahanya yang sudah duduk di ujung ranjang sembari menjejalkan botol susu ke bibir mungil peri manis kita. “Adik senang ya karena hari ini dijenguk sama ayah?” ucapnya pada putri kedua kita yang masih menendang-nendang asal dengan kakinya yang begitu mungil dan aku yakin betul jika aku pasti bisa menggengam kedua kakinya hanya dengan satu tangan saja.
“Adik lagi senyum loh. Ayah nggak mau lihat?” tanya Ibumu padaku sembari menatapku dengan penuh harap karena aku percaya bahwa Ibumu dan Ibuku sama-sama tengah berdoa pada Tuhan yang keparat untuk membuatku segera sembuh dan mau menyentuh peri manis kita yang masih tak punya nama itu.
Aku menggeleng kecil masih dengan posisi yang sama. Menggenggam tepi pintu dengan memperlihatkan separuh sisi tubuhku. “Masih belum kuat, Bu.” Ucapku jujur. Ibumu hanya mengangguk dan tersenyum.
“Ke dapur, Nak. Tadi Ibu sudah membuatkan sarapan untukmu. Pagi ini harus makan ya?”
Aku mengangguk kecil dan akhirnya melenggang menjauh dari kamar peri manis kita. Namun aku tak pergi ke dapur karena aku taka da selera sama sekali untuk menikmati sarapan. Aku lagi dan lagi hanya ingin menghabiskan waktu dengan duduk-duduk bengong di taman rumah kita untuk menamatkan wangi mekarnya bunga melati dan mengawasi daun-daun aglonema yang selalu menggodaku agar aku mau menyiraminya namun aku tak pernah tergoda dan aku tak pernah mau merawatnya. Ini memang caraku mengancammu agar kamu mau datang ke mimpiku dengan penampilan cantik untuk memelukku dan menyanyikan lagu favorit kita seperti biasanya.
Kursi santai yang kini selalu terasa hangat karena hampir tak pernah lepas dari kuasaku itu seperti tengah menyambut kedatanganku lagi pagi ini. Dalam sunyi ia pasti sudah menebak bahwa aku akan kembali melamun di atasnya lagi dan lagi. Aku yakin betul dirinya sudah tak asing lagi dengan kegiatanku yang hampir tak berubah selama dua mingguan ini. Juga rumput-rumput yang mulai memanjang tak beraturan itu, ia pasti sudah begitu rindu karena telah begitu lama tak kamu kunjungi dengan kaki tanpa alasmu.
Ini benaran sudah empat belas hari aku menjalani kehidupan yang tak hidup ini tanpamu, Sayang.
Jika ada yang bilang bahwa empat belas hari ini tak terasa aku tak akan setuju karena empat belas hari ini sangat begitu menyiksaku. Aku merasakan sakit yang begitu tak tertahankan. Kepergianmu tak pernah bisa menjadi hal yang biasa bagiku, pertanyaan-pertanyaan tentang kepergianmu juga bukanlah hal yang bisa aku jawab dengan lapang dada. Aku masih merasakan serangan menyakitkan setiap kali ada satu dua insan yang ingin tahu bagaimana kronologi detik-detik terakhirmu sebelum dirimu menghembuskan detak jantung.
Dan yang lebih membuat aku tersiksa adalah setiap kali aku mencoba untuk duduk di teras depan rumah atau saat aku mencoba untuk mencari udara di luar rumah, aku akan selalu merasa tersiksa ketika aku melihat berbagai jenis keluarga kecil manis yang masih bisa hidup bersama dengan keadaan lengkap dan bahagia. Sedang aku di sini duduk sendirian menangisi kepergianmu, dan malaikat cantik serta peri manis kita harus tumbuh menjadi perempuan dewasa tanpa ada dirimu yang menemani mereka berdua. Dan sepertinya setelah ini pun aku harus menua tanpa ada dirimu juga.
“Nak…”
Aku menoleh ke belakang saat suara ibumu memanggilku, Sayang. Ia sudah berdiri di ambang pintu dengan gelas keramik yang aku tak tahu apa isinya. Ia menyodorkannya padaku, “Ini tadi Ibu bikini kamu teh kok nggak kamu minum?”
“Tadi lupa, Bu.” Bohongku padahal aku memang tak tahu bahwa dirinya telah membuatkanku segelas teh hangat karena aku tak ada mendekat ke dapur sama sekali meskipun tadi ia juga memintaku untuk menyarap lebih dulu karena ia sudah menyiapkan segalanya. Aku segera menerima gelas keramik berisi teh hangat yang tadi ada di tangannya.