TUHAN (TAK) KEPARAT

february
Chapter #18

Hari kelima belas

Aku yakin betul, alasan Tuhan tak berani memperlihatkan wajahnya

Adalah karena Ia takut jika manusia bisa mengenaliNya dan membunuhNya atas segala neraka yang Ia ciptakan.

 

Ini sudah lima belas hari aku hidup tanpa sebuah kecupan manis yang membangunkanku setiap pagi darimu, Sayang. Maka lagi dan lagi akan aku ulangi bahwa aku begitu merindukan dirimu.

Hari ini hari minggu dan anak pertama kita, si malaikat kita yang cantik itu merengek-rengek sembari menarik-narik tanganku untuk membawanya ke taman kota tempat kita sering menghabiskan waktu bersama ketika kamu masih ada dulu dan aku mau tak mau harus menurutinya karena dengan melihat wajahnya yang begitu menyedihkan dengan rengutan serta rengekan saja aku benaran tak kuat untuk menolak permintaannya.

Maka di sinilah aku berada. Duduk sendirian di rerumputan taman kota sembari mengawasi malaikat cantik kita yang sibuk berlarian dengan kawan baru yang baru ia temui hari ini namun mereka berdua sudah seperti teman lama karena sudah akrab dan bermain berdua. Sedang ayahnya yang pengecut ini tak berniat membuka pembicaraan dengan yang lain dan memilih untuk berdiam diri sembari menikmati langit biru yang tengah cerah-cerahnya. Mataku bergerak ke manapun yang aku inginkan, mencoba untuk mencari satu dua objek yang bisa membuatku nyaman. Namun yang aku temukan hanyalah rasa iri dengki karena taman yang luas ini hanya dipenuhi dengan keluarga-keluarga manis yang tak dilanda sebuah kehilangan besar.

Aku kembali menyebar pandangan.

Dan kedua bola manikku memilih untuk berhenti di sebuah pemandangan di mana sebuah keluarga kecil tengah berpiknik di dekat danau. Sang ibu dan ayah duduk bersila di tikar kecil yang digelar di atas rerumputan hijau di tepian danau, sedang satu anak laki-lakinya tengah berjongkok di dekat air dengan satu pancing kecil yang di pegangnya erat-erat.

Tahukah kamu apa yang aku rasakan saat ini, Sayang?

Yang aku rasakan hanyalah satu hal. Bukan sakit, bukan lara. Melainkan dengki setengah mati. Jantungku langsung menggelap karena amarah, dan hatiku segera meluruh karena rasa iri yang sudah membumbung tinggi. Di antara banyaknya keluarga kecil yang berbahagia ini, dari sekian banyaknya keluarga kecil yang sedang penuh tawa ini, mengapa malah keluarga kita yang dihinggapi dan ditamui malaikat pencabut nyawa yang begitu keji? Mengapa di antara ribuan keluarga bahagia itu Tuhan yang keparat itu malah membawa berita duka berkunjung ke kediaman kita, Sayang? Mengapa malah kamu yang harus diambil? Mengapa bukan ibu anak laki-laki itu saja? Mengapa bukan ibu dari anak laki-laki itu saja yang pulang lebih dulu dan kamu yang masih hidup sehingga hari ini kitab isa menikmati waktu bersama dengan keluarga kecil kita yang manis dan dipenuhi malaikat cantik dan peri manis ini?

Karena mungkin suaminya bisa berdamai dengan kepergian istrinya lebih cepat daripada aku yang begitu mencintaimu ini.

Tuhan yang keparat itu pasti sedang berleha-leha di surga sekarang ini, menonton manusia-manusia yang ia ciptakan ini tengah berjuang mati-matian mencari kehidupan di dunia penuh neraka yang Ia ciptakan ini. Aku yakin betul, sungguh aku yakin betul bahwa Tuhan tak berani tinggal di dunia ini sebagai salah satu dari kita karena diriNya juga takut dengan neraka yang Ia ciptakan di antara deruh riuh dunia bajingan ini. Ia begitu keparat karena tak pernah mau bertanggungjawab akan kehidupan umatnya. Ia selalu meminta kita semua untuk bersujud padaNya namun Ia sendiri tak pernah menjamin kebahagiaan kita. Lalu Ia akan berlindung di balik frasa-frasa pembelaan para pengikutnya.

Aku benci betul. Aku sungguh benci karena Ia memilih untuk hidup sebagai sosok yang esa sedangkan Ia menciptakan manusia berpasang-pasangan dan saling mencinta. Kita yang manusia ini selalu dihantui oleh kehilangan-kehilangan yang Ia takdirkan, sedang diriNya sendiri tak mau mati. Ia selalu mengambil keluarga yang kita kasihi pun cintai namun diriNya sendiri tak mau memiliki keluarga dan buta rasa. Ia pasti takut betul jika dirinya harus mengantarkan sosok terkasihnya menuju liang lahat, Ia pasti takut betul untuk memberikan kecupan terakhir pada sosok terkasihnya sebelum akhirnya Ia harus membiarkan tubuh orang terkasihnya ditelan kain putih suci dan tak boleh disentuh olehNya lagi.

Maka dari itu Ia mengorbankan kita-kita ini karena Ia menganggap kita adalah makhluk lemah yang akan selalu patuh akan segala siksaan yang Ia berikan. Sehingga Ia hanya menciptakan cinta dan rasa untuk manusia agar Ia bisa menyiksa kita dengan segala hal yang sudah direncanakanNya tanpa rasa iba sama sekali. Pun aku membenci bagaimana para pengabdiNya selalu berucap bahwa Tuhan adalah keesaan yang begitu peduli dan selalu berbaik hati pada umatNya, padahal itu adalah sebuah kebohongan besar yang selama ini hanya ingin mereka percaya. Karena pada nyatanya Tuhan tak pernah memiliki rasa iba dan welas asih sama sekali. Dan yang ada dalam benakNya hanyalah sebuah narsisme belaka dan rasa ingin dinomor satukan saja. Pada dasarNya Ia hanyalah sesosok yang selalu ingin dipuja saja.

Dan para pengabdiNya yang masih tertipu itu belum sadar karena aku yakin betul mereka masih dipenuhi bahagia yang membuat mereka masih berlarut-larut dalam tipu daya yang dijabarkan Tuhan dalam kitab-kitabNya. Pun jika mereka ditemukan dengan maut yang membunuh satu dua keluarga ataupun kerabat yang mereka kasihi penuh cinta, aku yakin mereka semua akan mengerti apa yang aku rasakan sekarang ini. Mereka akan mengerti kenapa aku berubah menjadi salah satu pembenci Tuhan dan bersumpah tak akan memaafkanNya jika diriNya tak membawamu kembali padaku.

“Ayah!”

Lagi dan lagi aku terlarut dalam pikiranku sendiri dan membiarkan malaikat cantik kita harus berusaha sendiri untuk mencari kawan yang bisa menemaninya saat ayahnya yang pengecut ini tak bisa berbuat apa-apa selain bersedih dan berduka setiap detiknya. Aku tersenyum ketika ia mendekat padaku dan membawakan sebuah bunga liar yang entah ia dapat dari mana.

Ia berlari segera sembari menyodorkan satu tangkai bunga liar berwarna kuning seperti bunga matahari yang berukuran kecil itu. “Ayah lihat ini, Ayah. Aku tadi habis dapat bunga ini dari sana.”

“Dari mana, Sayang?” tanyaku mencoba mencari jawaban darinya karena tadi aku tak begitu mendengar ucapannya.

Ia memelukku dan menunjuk sebuah kursi panjang kosong yang berada di bawah pohon cemara dan semak-semak liar. “Cantik nggak, Ayah?”

Aku mengangguk sembari mengecup pipinya yang merah seperti milikmu dulu. Malaikat cantik kita sungguh seperti duplikatmu, Sayang. Dan bukan hanya malaikat cantik ini melainkan peri manis kita juga sama-sama mendapat segala turunan dari unsur-unsur yang lahir dari dirimu. Wajah, rambut, manik, hidung, bahkan merah pipinya. Yang mereka berdua dapat dariku hanyalah warna kulit yang sedikit kecoklatan, berbeda sekali dengan dirimu yang seputih susu murni.

“Ayah.”

“Iya, Sayang?”

Malaikat kita yang cantik itu terlihat tengah menahan sesuatu dari matanya, ia menyebarkan pandangan untuk mengamati segala jenis pemandangan keluarga bahagia yang terpampang jelas dan bisa ia tangkap dengan mudah kehadirannya dari segala penjuru tepian danau ini. Dan tiba-tiba saja, setelah ia selesai dengan pengamatannya ia kembali menatapku dengan maniknya yang sama persis dengan manik-manik milikmu itu. Ia menatapku dengan linangan air yang sudah terombang-ambing minta dilepaskan oleh pelupuk mata pemiliknya.

“Aku kangen sama Bunda.” Ucapnya tiba-tiba dan langsung menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Aku bisa meraskan air matanya yang sudah mengalir deras di kulit leherku, aku tahu betul jika dirinya pasti sedari tadi menahan air matanya karena tak ingin membuatku ikut bersedih dan pada akhirnya ia tak bisa menahannya lagi hingga ia tumpahkan segala hujan yang telah ia sembunyikan dalam mendung yang berkabut di kedua netra manisnya.

Aku hanya bisa menepuk-nepuk punggungnya sembari membalas pelukan eratnya, Sayang. aku benaran tak bisa berpikir untuk menemukan cara yang tepat agar aku bisa merespon segala aduan rindunya karena sebenarnya aku pun sama rindunya pada dirimu. “Maafin Ayah ya, Sayang.”

Ia masih terisak di ceruk leherku. “Aku kangen banget sama Bunda, Ayah. Aku pengen main lagi sama Bunda, aku pengen dipeluk lagi sama Bunda.”

Lihat selengkapnya